Wednesday, May 29, 2013

[Resensi Buku] Jika Hantu Itu Ada di Pikiranmu

Judul                           : Teror Hantu Ungu
Penulis                         : Nelfi Syafrina
Penerbit                      : DAR! Mizan
Jumlah halaman            : 116 halaman
Harga                           : Rp 29.000,-

Kan, Om sudah bilang hantu itu tidak ada. Hantu itu hanya ada di pikiranmu. –Om Wahyu (Teror Hantu Ungu, halaman 55)

Apa yang terbayang saat membaca judul Teror Hantu Ungu?
Jujur, saya nggak bisa membayangkan hantu ungu itu seperti apa. Malah, yang muncul di benak hanyalah terong berwarna ungu, yang diolah menjadi terong balado kesukaan saya. Nggak nyambung? Iya, sih. Tapi bener-bener tidak terbayang sosok hantu dalam novel ini.

Nah, setelah membacanya baru saya tahu, yang dimaksud Hantu Ungu di sini adalah sosok gadis kecil yang suka warna ungu. Kalau begitu, mungkin judul yang cocok adalah Teror Gadis Berbaju Ungu. Tapi, ada pikiran lain yang muncul setelahnya. Mungkinkah penulis sengaja menggunakan judul Teror Hantu Ungu untuk mengulik rasa penasaran? Bisa jadi.

Cerita Teror Hantu Ungu dimulai ketika Zeta dan Owen, dua kakak beradik dititipkan kedua orang tuanya di rumah Kakek. Selama kedua orang tuanya pergi mereka dititipkan pada Om Wahyu, adik Ibu. Masalahnya, rumah Kakek sepi dan temaram. Suasana jadi menakutkan ketika malam tiba. Apalagi, saat Om Wahyu menceritakan hal seram tentang “orang bunian”.

Ketakutan mereka semakin menjadi ketika melihat seorang anak perempuan berbaju ungu memandang marah pada mereka. Padahal, waktu itu hujan deras. Rasanya tidak mungkin kalau dia seorang manusia. Lalu siapa dia?

Penyelidikan demi penyelidikan pun dilakukan Zeta dan Owen. Sampai mereka menemukan gadis itu ternyata Alea. Dari Helena (adik Alea) mereka tahu bahwa Alea marah karena mengira Zeta dan Owen menabrak kucing mereka. Untungnya, gadis tunawicara itu mereda marahnya saat Zeta memberikan hadiah berupa buku padanya.

Secara keseluruhan, buku ini menghibur. Suasana seram memang seringkali membuat kita tergiring membayangkan sesuatu yang membuat buku kuduk merinding. Tapi kan, tidak selalu yang menyeramkan itu hantu.

Beberapa kali saya juga sempat tersenyum sendiri karena buku ini juga membuat saya teringat masa kecil saya dan adik saya. Kami suka sekali bertengkar, seperti Zeta dan Owen. Lucu, kesal, tapi ngangenin!

Meski menampilkan kata “hantu”, buku ini sama sekali tidak membuat anak-anak membayangkan sosok hantu yang mengerikan, lho. Buktinya, Keisya, putri sulung saya, bisa tidur nyenyak setelah membaca buku ini. Inilah salah satu poin plus yang paling saya sukai.

Salah satu hal yang menjadi pertanyaan saya adalah cara Alea berkomunikasi dengan Zeta dan Owen. Ada satu dialog (di halaman 112) saat Alea minta maaf pada Zeta. Tapi, dalam dialog itu tak tergambarkan caranya berdialog. Apakah menggunakan bahasa isyarat? Kalau iya, seperti apa? Kalau tidak, bagaimana dia berbicara?

Mungkin, akan lebih menarik jika penggunaan bahasa isyarat dan cara berkomunikasi Alea dibahas lebih rinci. Misalnya, minta maaf bisa diisyaratkan dengan tangan kanan bergerak melingkar di dada. Atau, terima kasih diisyaratkan dengan mengecupkan telapak tangan ke bibir dan digerakkan ke depan. Tujuannya, tentu saja untuk memberikan pengetahuan pada anak-anak. Jadi, saya sebagai orang tua juga tidak kebingungan kalau anak-anak bertanya, “Seperti apa bahasa isyarat 'maaf'?”

Keisya membaca Teror Hantu Ungu 
Tulisan ini diikutkan dalam lomba resensi Forum Penulis Bacaan Anak

6 comments :

  1. Resensinya baguuuus ... good luck ya Fit dengan lombanya :)

    ReplyDelete
  2. Hantunya ungu, unyuuuu ya :) jadi penasaran...Mbak Fitha aku belajar dari resensi2mu nih :)

    ReplyDelete
  3. Mak Fita kalo nulis enak yaa..bagi tipsnya ya :)

    Sukses lombanya Mak.. :)

    ReplyDelete
  4. Kak Fita... bagus ceritanya, #bagi #terong #ungunya #dong! :D

    ReplyDelete