Judul : Teror Hantu Ungu
Penulis :
Nelfi Syafrina
Penerbit :
DAR! Mizan
Jumlah
halaman : 116 halaman
Harga : Rp 29.000,-
Kan, Om sudah bilang hantu itu tidak
ada. Hantu itu hanya ada di pikiranmu. –Om Wahyu (Teror Hantu Ungu, halaman 55)
Apa
yang terbayang saat membaca judul Teror Hantu Ungu?
Jujur,
saya nggak bisa membayangkan hantu ungu itu seperti apa. Malah, yang muncul di
benak hanyalah terong berwarna ungu, yang diolah menjadi terong balado kesukaan
saya. Nggak nyambung? Iya, sih. Tapi bener-bener tidak terbayang sosok hantu
dalam novel ini.
Nah,
setelah membacanya baru saya tahu, yang dimaksud Hantu Ungu di sini adalah
sosok gadis kecil yang suka warna ungu. Kalau begitu, mungkin judul yang cocok adalah
Teror Gadis Berbaju Ungu. Tapi, ada pikiran lain yang muncul setelahnya. Mungkinkah
penulis sengaja menggunakan judul Teror Hantu Ungu untuk mengulik rasa
penasaran? Bisa jadi.
Cerita
Teror Hantu Ungu dimulai ketika Zeta dan Owen, dua kakak beradik dititipkan
kedua orang tuanya di rumah Kakek. Selama kedua orang tuanya pergi mereka
dititipkan pada Om Wahyu, adik Ibu. Masalahnya, rumah Kakek sepi dan temaram.
Suasana jadi menakutkan ketika malam tiba. Apalagi, saat Om Wahyu menceritakan
hal seram tentang “orang bunian”.
Ketakutan
mereka semakin menjadi ketika melihat seorang anak perempuan berbaju ungu memandang
marah pada mereka. Padahal, waktu itu hujan deras. Rasanya tidak mungkin kalau
dia seorang manusia. Lalu siapa dia?
Penyelidikan
demi penyelidikan pun dilakukan Zeta dan Owen. Sampai mereka menemukan gadis
itu ternyata Alea. Dari Helena (adik Alea) mereka tahu bahwa Alea marah karena
mengira Zeta dan Owen menabrak kucing mereka. Untungnya, gadis tunawicara itu
mereda marahnya saat Zeta memberikan hadiah berupa buku padanya.
Secara
keseluruhan, buku ini menghibur. Suasana seram memang seringkali membuat kita
tergiring membayangkan sesuatu yang membuat buku kuduk merinding. Tapi kan,
tidak selalu yang menyeramkan itu hantu.
Beberapa
kali saya juga sempat tersenyum sendiri karena buku ini juga membuat saya
teringat masa kecil saya dan adik saya. Kami suka sekali bertengkar, seperti
Zeta dan Owen. Lucu, kesal, tapi ngangenin!
Meski
menampilkan kata “hantu”, buku ini sama sekali tidak membuat anak-anak membayangkan
sosok hantu yang mengerikan, lho.
Buktinya, Keisya, putri sulung saya, bisa tidur nyenyak setelah membaca buku ini.
Inilah salah satu poin plus yang paling saya sukai.
Salah
satu hal yang menjadi pertanyaan saya adalah cara Alea berkomunikasi dengan
Zeta dan Owen. Ada satu dialog (di halaman 112) saat Alea minta maaf pada Zeta.
Tapi, dalam dialog itu tak tergambarkan caranya berdialog. Apakah menggunakan
bahasa isyarat? Kalau iya, seperti apa? Kalau tidak, bagaimana dia berbicara?
Mungkin,
akan lebih menarik jika penggunaan bahasa isyarat dan cara berkomunikasi Alea
dibahas lebih rinci. Misalnya, minta maaf bisa diisyaratkan dengan tangan kanan
bergerak melingkar di dada. Atau, terima kasih diisyaratkan dengan mengecupkan
telapak tangan ke bibir dan digerakkan ke depan. Tujuannya, tentu saja untuk
memberikan pengetahuan pada anak-anak. Jadi, saya sebagai orang tua juga tidak
kebingungan kalau anak-anak bertanya, “Seperti apa bahasa isyarat 'maaf'?”
Tulisan ini diikutkan dalam lomba resensi Forum Penulis Bacaan Anak
Resensinya baguuuus ... good luck ya Fit dengan lombanya :)
ReplyDeleteMakasih, Kang Iwok. Aamiin :)
DeleteHantunya ungu, unyuuuu ya :) jadi penasaran...Mbak Fitha aku belajar dari resensi2mu nih :)
ReplyDeleteMakasih yaaa :)
DeleteMak Fita kalo nulis enak yaa..bagi tipsnya ya :)
ReplyDeleteSukses lombanya Mak.. :)
Kak Fita... bagus ceritanya, #bagi #terong #ungunya #dong! :D
ReplyDelete