Sunday, March 29, 2015

Mengapa Menulis Untuk Anak-anak?

Tante, yang nulis novel Pesan Misterius ya? Ceritanya bagus, Tante. Aku sukaaa. Kok Tante mau terus buat cerita anak sih? Padahal, aku saja yang mulai remaja sudah nggak sreg nulis naskah anak-anak. -inbox dari seorang penulis cilik yang beranjak remaja

Cover buku yang dibicarakan si penulis cilik itu. Silakan dibeli. :) *promo terselubung
Kenapa saya menulis cerita anak-anak?
Pertanyaan ini sederhana, tapi sukses membuat saya merenung seharian. Saya akui, saya pernah mencoba menulis hampir segala jenis naskah. Novel remaja, buku parenting, buku kesehatan, artikel wisata, feature, cerpen anak, dan masih banyak lagi yang lainnya. Balik-baliknya, saya rindu menulis untuk anak-anak. 

Wednesday, March 18, 2015

Home Library, Surga di Rumah Kami

Buku adalah harta berharga bagiku. Memiliki perpustakaan di rumah, bagaikan memiliki tempat penyimpanan harta karun.


Mungkin karena terbiasa melihat rak-rak buku di rumah sejak kecil, setelah berumah tangga saya ingin punya sebuah ruang yang bisa disebut home library. Alhamdulillah, dua tahun lalu sudah ada ruang yang bisa dipakai untuk menampung rak-rak buku saya yang beranak pinak. Ruang itu berisi lima rak buku yang saya beli secara bertahap, menggantikan rak buku lama saya yang hampir roboh kebanyakan muatan.


Kami sekeluarga menyebutnya perpustakaan. Sampai akhirnya Keisya berinisiatif meminjamkan buku-bukunya pada anak-anak tetangga. Awalnya, dia dan sahabatnya naik sepeda keliling kompleks untuk menawarkan  pinjaman buku. Lalu, dia membuat brosur perpustakaan. Lama kelamaan, dia menata buku-buku itu di teras supaya mudah terlihat. Keisya memberi nama perpustakaan kami Bookaholic Library.

Saturday, March 14, 2015

[Artikel Wisata] Keliling Bangkok, Naik Apa Pun Bisa

Salah satu tulisan pendek saya yang dimuat di media. Kali ini di Koran Pikiran Rakyat. Idenya sederhana kok, saya sedang ngubek file dan menemukan banyak foto-foto alat transportasi waktu jalan-jalan ke Bangkok.
Untuk mengirimkan tulisan ke rubrik Pariwisata Koran Pikiran Rakyat ada beberapa hal yang harus diperhatikan.
1. Buat tulisan sepanjang 2 halaman, 1,5 spasi. Nggak panjang kan?
2. Fokus saja pada satu topik yang ingin diangkat. Jujur, berdasarkan pengalaman kita.
3. Sertakan 3-5 foto. Pastikan fotonya kualitas bagus.
4. Kirim ke redaksi@pikiran_rakyat.com. Cc ke hiburan@pikiran_rakyat.com.
Di bawah ini tulisan saya yang dimuat di Pikiran Rakyat 14 Juni 2014. 


Foto dapat dari Mbak Asri Andarini

Jalan-jalan Keliling Bangkok, Naik Apa Pun Bisa

            Tidak perlu pusing memikirkan masalah transportasi di Bangkok. Pasalnya, alat transportasi massal di sini teratur, bersih, dan nyaman. Pilihannya pun beragam. Mau naik MRT (subway), silakan. Ingin menikmati pemandangan dari atas BTS (Bangkok Skytrain), boleh. Ingin melihat kehidupan di sepanjang Chao Praya melalui river cruise, ayo. Atau, ingin menjajal tuk-tuk?
            Enaknya, di Bangkok antara jalur transportasi satu dengan yang lainnya tertata apik. Di beberapa perhentian ada interchange yang memudahkan kita beralih dari satu moda transportasi ke moda lainnya. Sebelum menjelajah Bangkok, mari kenali satu per satu alat transportasinya.

Airport Rail Link
Airport Rail Link adalah kereta yang bermuara di Bandara Svarnabhumi. Ada dua jenis kereta yaitu Airport Express dan Airport City Line. Sesuai namanya, Airport Express lebih cepat. Sedangkan Airport City Line berhenti di beberapa stasiun.

MRT
MRT atau subway tersedia mulai dari stasiun Hua Lamphong sampai Bang Sue. Keretanya sangat bersih, demikian pula stasiunnya. MRT melintas setiap beberapa menit sekali. Jadi, tak perlu khawatir menunggu lama. Untuk menaikinya, kita perlu menggunakan koin sejenis token. Awalnya, saya sempat berpikir, apakah mereka tak kesulitan mengelola sampah plastik dari token ini? Ternyata, jawabannya sederhana. Token itu kembali lagi pada mereka karena setelah digunakan, token harus dimasukkan kembali ke suatu alat di pintu keluar setiap stasiun. Kalau tidak, tentu saja kita tidak bisa keluar dari stasiun.

BTS (Bangkok Skytrain)
Mirip dengan MRT, monorel berjalan di atas rel. Bedanya, dari dalam BTS kita bisa melihat pemandangan kota Bangkok. Ada dua jalur BTS yaitu Sukhumvit Line dan Si Lom Line. Tiketnya, seharga 15-40 Bath. Saya terkesan dengan pola antri masyarakat Bangkok. Saat berada di sebuah stasiun BTS pada jam sibuk, calon penumpang rela mengantri berjajar ke belakang. Tidak ada yang sengaja mendahului di depan garis yang telah ditetapkan sebagai batas atau mendesak masuk saat penumpang keluar dari dalam BTS. Pemandangan yang langka saya temui di Indonesia.

River Cruise
Ada yang kurang rasanya kalau ke Bangkok tanpa naik river cruise atau boat. Chao Praya yang membelah Bangkok tidak membuat masyarakat Bangkok kesulitan bepergian ke seberangnya. Ada beberapa pilihan river cruise, yaitu yang berbendera oranye, kuning, dan hijau. Masing-masing memiliki panjang jalur yang berbeda, meski sebagian besar melalui perhentian yang sama. Yang perlu diperhatikan, river cruise berbendera kuning khusus untuk wisatawan dengan one day pass. Sedangkan yang berbendera oranye biasa digunakan masyarakat umum untuk bepergian, berangkat bekerja, ataupun pulang. Selain itu, ada juga express river cruise, yang tidak berhenti di setiap perhentian.
Di dalam river cruise masing-masing tempat duduk memiliki pelampung di bawahnya. Salah satu hal yang wajib dicontoh pula.

Tuk-tuk
Tuk-tuk atau “sam lor”, merupakan alat transportasi khas Bangkok yang tak sabar saya coba ketika menjejakkan kaki di sana. Bentuknya seperti becak, beroda tiga tapi bermotor. Kalau dilihat sepintas, kita akan sepakat bahwa inilah yang seringkali kita sebut bajaj, di Jakarta.
Kunci berkendara menggunakan tuk-tuk adalah pandai menawar. Jadi, sebaiknya kita tahu jarak yang akan kita tempuh supaya bisa memperkirakan kepantasan harganya. Menawar sekitar 10-5 Bath lebih rendah merupakan hal yang wajar.
Meski tuk-tuk lebih gesit ketimbang taksi, tetapi mengingat kendaraan ini terbuka, asap dan debu bisa dengan mudah masuk. Jadi,ada baiknya mengenakan masker agar terhindar dari debu.

Satu lagi tips menaiki tuk-tuk, waspadalah terhadap tuk-tuk yang menawarkan berkeliling dengan harga sangat murah. Terkadang, mereka memberhentikan atau memaksa kita ke suatu tempat supaya kita membeli sesuatu (misalnya ke toko souvenir). Apa untungnya bagi mereka? Mereka mendapatkan imbalan dari toko tersebut jika bisa membawa calon pembeli. [Fita Chakra]

Monday, March 9, 2015

[Resensi] Dengan Pujian, Bukan Kemarahan

Repost dari notes FB saya tanggal 16 Agustus 2010.


Judul     : Dengan Pujian, Bukan Kemarahan 
Penulis  : Nesia Andriana Arif
Penerbit : Elex Media Komputindo
Cetakan : 2010

Buku ini saya "temukan" di deretan rak terdepan di Gramedia Central Park. Meskipun tidak ada di dalam list belanjaan saya, akhirnya buku ini tetap saya beli mumpung diskon lumayan :) Buku-buku parenting termasuk jenis buku yang saya sukai, jadi tak ada salahnya kan?

Dari awal, buku yang ditulis berlatar belakang negeri Sakura ini banyak membukakan mata dan hati saya. Berdasarkan pengalaman penulis tinggal selama kurang lebih 12 tahun di Jepang, banyak hal-hal yang ditangkap dan dituangkan di dalam tulisan-tulisan di buku ini. Buku ini sarat makna. Mengenai bagaimana rupa pendidikan formal di Jepang mulai dari hoikuen (tempat penitipan anak), youchien (TK), kids supporter hingga SD. Mengenai bagaimana umumnya orang tua di Jepang mendidik anak-anaknya. Dan, juga menanamkan kemandirian dan tanggung jawab.

Layaknya dua sisi mata uang, tidak semuanya yang baik-baik tergambar di sini. Namun demikian, banyak hal baik yang bisa saya ambil manfaatnya dari buku ini. Saya sangat terkesan dengan salah satu judul bahasan di dalam buku ini yang berjudul "Mangkuk Nasi yang Dibawa Berlari". Inilah refleksi kehidupan yang sering saya lihat sehari-hari, dimana para ibu atau asisten rumah tangga berupaya membuat anak-anak makan dengan cara menyuapi anak tersebut sambil berjalan-jalan. Seringkali, saya bahkan melihat anak-anak itu digendong sambil berjalan-jalan agar mau makan. Sementara di Jepang, mulai usia satu tahun anak sudah dilatih duduk manis saat makan. Pada usia 3 tahun, anak-anak sudah dilatih makan sendiri.

Saya tak mau munafik, saat anak pertama saya pernah mendapatkan perlakukan seperti ini dari saya. Syukurlah hal ini tak berlangsung lama. Lalu saat kelahiran adik-adiknya, mereka tidak pernah saya perlakukan seperti ini. Bukan karena membedakan, tetapi karena kedua adiknya adalah anak kembar yang membuat saya tak bisa menggendong mereka dua-duanya sambil menyuapi!Tetapi sesungguhnya  alasan terbesar saya adalah karena tidak mau membuat mereka terbiasa makan dengan cara seperti itu. Saya tidak mau hal ini menjadi kebiasaan yang berlanjut terus. Anak-anak harus bisa makan sendiri dan duduk manis di kursi saat makan.

Bagian lain dari buku ini yang berjudul "Saat Anak Jatuh" juga merupakan salah satu kisah favorit saya. Disitu dikisahkan bagaimana para ibu di Jepang sebagian besar akan bersikap biasa saja saat anaknya jatuh. Mereka tidak akan terburu-buru mendatangi anaknya lalu dengan suara panik mencemaskan keadaan anaknya. Sebaliknya, mereka bereaksi dingin, mengatakan "Jangan menangis!", "Tidak apa-apa!" jika anak-anak jatuh. Penulis menutip sebuah artikel yang mengatakan bahwa pola asuh seperti itulah yang menjadi salah satu faktor yang telah berhasil membentuk manusia-manusia Jepang sebagai sosok pekerja keras nan ulet.

Meskipun akhirnya penulis sendiri mengakui bahwa dia tidak yakin apakah sikap seperti itu yang pantas diperlihatkan saat anak jatuh, sedikit banyak saya menangkap maksud dari tulisan ini. Bahwa ada baiknya jika orangtua tidak bersikap berlebihan memperlakukan anaknya seperti kaca yang mudah pecah. Sikap seperti itu bisa membuat anak jadi mudah panik, takut melangkah,dan membayangkan hal-hal yang paling buruk saat tertimpa masalah.

Satu hal terakhir yang mengesankan di buku ini yaitu penggambaran pendidikan di Jepang yang tidak mengenal sistem peringkat di kelas.  Rapor siswa di sekolah untuk kelas satu dan dua dibuat tiga level yaitu perlu lebih berusaha, bisa, dan benar-benar bisa. Ini dibuat agar anak-anak tidak turun semangat belajarnya.Di sinilah saya sempat termenung sejenak dan membandingkannya dengan sistem pendidikan disini yang sangat berbeda.

Pendek kata, seluruh isi buku ini sepanjang 294 halaman habis saya baca dalam waktu sehari semalam. Menandakan bahwa isinya mudah dicerna dan cukup menarik bagi saya, hingga saya tak kuasa melepaskan buku ini sekejap saja.:)

Sunday, March 1, 2015

Finally, Heidelberg! #TravellingtoEurope (Part 10)

Setelah Wina, Heidelberg adalah perhentian terakhir kami. Di sanalah adik saya dan keluarganya akan tinggal sampai masa studi mereka berakhir. Seharusnya, di awal perjalanan, kami ingin menginap dua malam supaya bisa jalan-jalan ke Frankfurt. Namun, karena pesawat yang delay di Abu Dhabi, akhirnya kami skip acara jalan-jalan ke Frankfurt. Yang terjadi selajutnya di akhir perjalanan, kami harus memilih mau menghabiskan waktu di Frankfurt atau Heidelberg. Pilihan kami jatuh pada Heidelberg karena kami belum puas berkangen-kangen dengan keponakan satu-satunya.