Cerita ini pernah dimuat di Majalah Girls
Aku sering kesal kalau teman-temanku
bertanya padaku apa pekerjaan ibuku. Ibu mereka kebanyakan bekerja di luar
rumah. Ada yang bekerja sebagai dokter, insinyur, pegawai bank, dosen, dan
sebagainya. Sedangkan ibuku? Ibuku hanya seorang ibu rumah tangga.
Setiap
hari ibu lebih sering berada di rumah, mengerjakan semua pekerjaan rumah
seperti memasak, mencuci, dan membersihkan rumah. Kadang-kadang ibu keluar
rumah jika ada keperluan dengan organisasi soaial yang diikutinya. Ibu banyak
menulis di berbagai majalah dan surat kabar. Tapi, tetap saja kan profesi ibu
seorang ibu rumah tangga? Soalnya ibu menulis hanya di waktu senggang saja,
jadi tidak setiap hari ibu bekerja.
Makanya
hari ini aku kesal sekali ketika ibu guru memberi kami pekerjaan rumah menulis
tentang pekerjaan ibu masing-masing. Padahal semua anak di kelas senang
menerima tugas ini. Mereka bangga pada pekerjaan ibunya.
Ketika aku
pulang, Ibu menyapaku. Mungkin Ibu melihat wajahku yang merengut kesal.
“Kenapa,
Sayang? Ada masalah di sekolah?” tanya Ibu.
“Bu,
kenapa sih Ibu tidak bekerja di kantor seperti ibu teman-teman Mila?” aku langsung
melontarkan pertanyaan tak sabar.
“Lho,
ada apa ini kok tiba-tiba bertanya seperti itu?” Ibu tersenyum.
Aku
memonyongkan bibir, kesal.
“Mila
kesal! Tadi di sekolah ibu guru bertanya apa pekerjaan ibu masing-masing murid,”
kataku mengeluarkan kekesalanku.
“Lalu?”
Ibu bertanya sabar.
“Sebagian
besar ibu teman-teman Mila bekerja kantoran. Maksud Mila, bekerja di luar
rumah. Mereka bisa bercerita panjang lebar mengenai kegiatan ibu mereka di
kantor. Mila kan tidak bisa, Bu! Apa yang harus Mila tulis untuk tugas Mila
nanti?” keluhku.
Ibu
tersenyum saja.
“Mila
kan bisa menulis tentang kegiatan Ibu seharian,” usul Ibu.
Aku
mencibir.
“Huh,
nggak seru dong! Memangnya Mila harus cerita Ibu masak, beres-beres, belanja…”
omelku.
“Lho,
Ibu juga kerja kan meskipun dari rumah? Apa Mila tidak tahu kalau Ibu juga
menulis untuk majalah dan menulis buku?”
“Menulis
kan nggak setiap hari, Bu. Lagipula Ibu tidak perlu keluar rumah untuk bekerja.
Itu sih bukan bekerja namanya,” sahutku ketus.
Ibu
tertawa.
“Mila… Mila… Jaman
sekarang kerja tidak harus di kantor. Ingat, sekarang ada internet. Bekerja
juga tidak harus seharian penuh. Bahkan dengan bekerja di rumah, Ibu masih
punya waktu buat keluarga,” jelas Ibu.
Aku diam saja, tidak
mau berdebat lagi dengan Ibu. Aku tidak setuju perkataan Ibu. Bekerja dari
rumah menurutku sama sekali tidak bergengsi. Lebih keren kalau Ibu bekerja kantoran
yang mengharuskannya setiap hari masuk kerja. Aku membayangkan Ibu memakai
setelan blazer dan make up lengkap. Hmm.. pasti Ibu kelihatan lebih cantik.
“La, besok Ibu pergi
keluar kota ya,” suara Ibu mengagetkannya.
“Malamnya langsung
pulang kan, Ibu?” tanyaku. Ibu jarang pergi keluar kota berhari-hari lamanya
tanpa mengajak keluarga.
Ibu menggeleng.
“Ibu pergi selama seminggu.
Jadi kamu dan adikmu harus bisa mengurus diri kalian sendiri,” pesan Ibu.
“Beres, Bu!” kataku
singkat. Kepergian Ibu sama sekali tidak membuatku khawatir. Aku merasa sudah
cukup besar. Mengurus diri sendiri sama sekali bukan masalah.
*
Aku sibuk
membongkar-bongkar lemari di dapur. Aku hanya ingin mencari dimana Ibu
menyimpan garam. Sejak Ibu pergi, Aku harus memasak sendiri. Padahal, aku tidak
pernah memasak. Selama ini Ibu yang memasak untuk kami semua.
“Cari apa, Kak?” tegur
Dita, adikku.
“Cari garam. Kakak mau
masak telur mata sapi,” sahutku tanpa menoleh.
“Mau masak telur mata
sapi saja kok sampai membuat dapur berantakan begini,” komentar Dita.
Aku menghela napas. Belakangan,
aku baru sadar ternyata lebih enak kalau Ibu ada di rumah. Urusan rumah tangga semuanya
beres. Selama Ibu pergi aku sering kebingungan mencari-cari barang meski di
rumah sendiri. Rumah juga sering kubiarkan berantakan karena aku malas menyapu
dan mengepel.
Duh, aku jadi menyesal
sudah meremehkan peran Ibu. Aku baru tahu, menjadi ibu rumah tangga ternyata
banyak tugasnya. Apalagi kalau masih harus menulis sampai larut malam. Meski
malu mengakui, aku mulai rindu Ibu.
“Ada apa ini, kok
berantakan?” tiba-tiba Ayah masuk.
“Kak Mila mau masak
telur mata sapi tapi belum ketemu garamnya,” lapor Dita.
Ayah geleng-geleng
kepala.
“Coba baca ini,” kata
Ayah menyodorkan sebuah surat kabar.
“Wow, hebat sekali Ibu
ya, Yah!” seru Dita.
Aku ikut membaca surat
kabar yang dibaca Dita dari balik punggungnya.
Lho, kok ada foto Ibu?
Wah, ternyata Ibu
sedang promo buku terbarunya. Pantas Ibu pergi agak lama. Aku malu pada diriku
sendiri. Sebelum Ibu pergi aku sempat berdebat dengan Ibu mengenai
pekerjaannya. Padahal, diam-diam, Ibu penulis yang terkenal.
“Lihat, apa kalian
tidak bangga punya Ibu penulis?” kata Ayah.
“Tentu saja bangga,
Yah,” kata Dita diikuti anggukan kepalaku.
“Ibu kalian tidak hanya
ibu rumah tangga, tetapi juga penulis. Bayangkan bagaimana Ibu harus mengatur
waktunya secermatnya agar urusan rumah tangga dan pekerjaan bisa berjalan
lancar. Meskipun bekerja dari rumah, menjadi penulis itu tidak kalah dengan
profesi lain,” Ayah menjelaskan panjang lebar.
Aku hanya bisa
tertunduk diam. Dalam hati, aku sudah membayangkan apa saja yang akan kutulis
untuk tugas yang diberikan Bu Guru.
Maafkan aku, Ibu. Aku
bangga padamu! [Fita Chakra]
cerita anak nnya bagus ...., tak sekedar sebuah cerita menarik tapi juga mendidik....
ReplyDeletesalam kenal dari riau mbak...:)
Salam kenal balik. Makasih sudah mampir :)
Deleteaku elalu suka cerita mbakFita, ajarin dong membuat verita yang mendidik hehe
ReplyDeleteHonestly, ceritanya terinspirasi anakku, Mak :p Banyak cerita yang bisa kita tulis dari keseharian,kok. Buka mata, telinga dan hati. Lihat dari sudut pandang anak-anak. Semoga membantu :)
Deletemanis banget mbk, izin belajar nih :)
ReplyDelete