Thursday, May 30, 2013

[Proses Kreatif] Kumpulan Cerita Princess Kocak



"Gimana ceritanya bisa menulis buku ini? Susah nggak?"

Beberapa orang teman bertanya pada saya ketika tahu buku duet saya dan Eka Dresti Swaranindita (akrab dipanggil Ditta) yang berjudul "Princess Kocak" terbit. Nah, biar nggak bertanya-tanya lagi, saya ceritakan saja di sini proses kreatifnya.

Awalnya, saya dan Ditta mengikuti sebuah kelas menulis. Di kelas itu, kami mendapatkan tugas akhir dari Mas Benny Rhamdani untuk berduet menulis cerita bertema "Princess Kocak." 

Wednesday, May 29, 2013

[Resensi Buku] Jika Hantu Itu Ada di Pikiranmu

Judul                           : Teror Hantu Ungu
Penulis                         : Nelfi Syafrina
Penerbit                      : DAR! Mizan
Jumlah halaman            : 116 halaman
Harga                           : Rp 29.000,-

Kan, Om sudah bilang hantu itu tidak ada. Hantu itu hanya ada di pikiranmu. –Om Wahyu (Teror Hantu Ungu, halaman 55)

Apa yang terbayang saat membaca judul Teror Hantu Ungu?
Jujur, saya nggak bisa membayangkan hantu ungu itu seperti apa. Malah, yang muncul di benak hanyalah terong berwarna ungu, yang diolah menjadi terong balado kesukaan saya. Nggak nyambung? Iya, sih. Tapi bener-bener tidak terbayang sosok hantu dalam novel ini.

Nah, setelah membacanya baru saya tahu, yang dimaksud Hantu Ungu di sini adalah sosok gadis kecil yang suka warna ungu. Kalau begitu, mungkin judul yang cocok adalah Teror Gadis Berbaju Ungu. Tapi, ada pikiran lain yang muncul setelahnya. Mungkinkah penulis sengaja menggunakan judul Teror Hantu Ungu untuk mengulik rasa penasaran? Bisa jadi.

Cerita Teror Hantu Ungu dimulai ketika Zeta dan Owen, dua kakak beradik dititipkan kedua orang tuanya di rumah Kakek. Selama kedua orang tuanya pergi mereka dititipkan pada Om Wahyu, adik Ibu. Masalahnya, rumah Kakek sepi dan temaram. Suasana jadi menakutkan ketika malam tiba. Apalagi, saat Om Wahyu menceritakan hal seram tentang “orang bunian”.

Ketakutan mereka semakin menjadi ketika melihat seorang anak perempuan berbaju ungu memandang marah pada mereka. Padahal, waktu itu hujan deras. Rasanya tidak mungkin kalau dia seorang manusia. Lalu siapa dia?

Penyelidikan demi penyelidikan pun dilakukan Zeta dan Owen. Sampai mereka menemukan gadis itu ternyata Alea. Dari Helena (adik Alea) mereka tahu bahwa Alea marah karena mengira Zeta dan Owen menabrak kucing mereka. Untungnya, gadis tunawicara itu mereda marahnya saat Zeta memberikan hadiah berupa buku padanya.

Secara keseluruhan, buku ini menghibur. Suasana seram memang seringkali membuat kita tergiring membayangkan sesuatu yang membuat buku kuduk merinding. Tapi kan, tidak selalu yang menyeramkan itu hantu.

Beberapa kali saya juga sempat tersenyum sendiri karena buku ini juga membuat saya teringat masa kecil saya dan adik saya. Kami suka sekali bertengkar, seperti Zeta dan Owen. Lucu, kesal, tapi ngangenin!

Meski menampilkan kata “hantu”, buku ini sama sekali tidak membuat anak-anak membayangkan sosok hantu yang mengerikan, lho. Buktinya, Keisya, putri sulung saya, bisa tidur nyenyak setelah membaca buku ini. Inilah salah satu poin plus yang paling saya sukai.

Salah satu hal yang menjadi pertanyaan saya adalah cara Alea berkomunikasi dengan Zeta dan Owen. Ada satu dialog (di halaman 112) saat Alea minta maaf pada Zeta. Tapi, dalam dialog itu tak tergambarkan caranya berdialog. Apakah menggunakan bahasa isyarat? Kalau iya, seperti apa? Kalau tidak, bagaimana dia berbicara?

Mungkin, akan lebih menarik jika penggunaan bahasa isyarat dan cara berkomunikasi Alea dibahas lebih rinci. Misalnya, minta maaf bisa diisyaratkan dengan tangan kanan bergerak melingkar di dada. Atau, terima kasih diisyaratkan dengan mengecupkan telapak tangan ke bibir dan digerakkan ke depan. Tujuannya, tentu saja untuk memberikan pengetahuan pada anak-anak. Jadi, saya sebagai orang tua juga tidak kebingungan kalau anak-anak bertanya, “Seperti apa bahasa isyarat 'maaf'?”

Keisya membaca Teror Hantu Ungu 
Tulisan ini diikutkan dalam lomba resensi Forum Penulis Bacaan Anak

Thursday, May 23, 2013

[Cerita Anak] Ketika Ibu Tak di Rumah

Cerita ini pernah dimuat di Majalah Girls



Aku sering kesal kalau teman-temanku bertanya padaku apa pekerjaan ibuku. Ibu mereka kebanyakan bekerja di luar rumah. Ada yang bekerja sebagai dokter, insinyur, pegawai bank, dosen, dan sebagainya. Sedangkan ibuku? Ibuku hanya seorang ibu rumah tangga.
            Setiap hari ibu lebih sering berada di rumah, mengerjakan semua pekerjaan rumah seperti memasak, mencuci, dan membersihkan rumah. Kadang-kadang ibu keluar rumah jika ada keperluan dengan organisasi soaial yang diikutinya. Ibu banyak menulis di berbagai majalah dan surat kabar. Tapi, tetap saja kan profesi ibu seorang ibu rumah tangga? Soalnya ibu menulis hanya di waktu senggang saja, jadi tidak setiap hari ibu bekerja.

[Cerita Anak] Sepatu Tuk-Tuk

Cerita ini pernah dimuat di Majalah Bravo. Selamat membaca!


Bino adalah kurcaci yang membuat berbagai macam sepatu. Dia memiliki sebuah toko sepatu. Di dalam tokonya itu ada ratusan jenis sepatu, mulai dari sepatu anak-anak, sepatu berhak tinggi, sepatu boot, sepatu bertali, dan masih banyak lagi yang lainnya. Banyak kurcaci yang suka membeli sepatu di tokonya. Sepatu-sepatu yang dibuat Bino modelnya bagus-bagus, dan terbuat dari bahan terbaik. Meskipun harganya sedikit lebih mahal tetapi sepatu buatan Bino banyak yang membeli.

Monday, May 20, 2013

Kata yang Istimewa


Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Sekar Edisi 61/11 13-27 Juli 2011

“Kenapa Bunda selalu bilang terima kasih pada bapak itu?” tanya anak saya suatu hari. Saat itu kami akan keluar dari tempat parkir sebuah pertokoan. Seperti biasa, sambil mengeluarkan mobil dari tempat tersebut saya mengucapkan kata terima kasih pada tukang parkir.
            Saya terkejut mendengar pertanyaannya. Anak-anak sungguh peka dengan apa yang mereka lihat dan dengar. Sebelumnya saya tak menyadari bahwa saya selalu berbuat demikian saat memberikan uang parkir pada setiap tukang parkir. Bahkan juga pada satpam, penjaga palang pintu kereta di gang kecil dekat rumah kami, dan pada asisten rumah tangga kami. Kenapa ya? Saya mengingat-ingat sejak kapan saya mulai melakukan hal tersebut. Sepertinya sudah lama sekali, mungkin kebiasaan itu sudah saya pupuk sejak saya kuliah dahulu.

[Cerita Anak] Sandra Si Pemungut Sampah


Cerita anak ini pernah dimuat di Majalah Bravo beberapa tahun lalu. Selamat membaca :)


Sandra memungut gumpalan kertas yang dibuang Nana di lantai. Dilicinkannya permukaan kertas itu dengan tangan lalu disimpannya hati-hati di laci mejanya.
            “Ih, seperti pemulung saja. Kertas itu kan sudah kubuang. Sudah tidak kugunakan lagi,” kata Nana jijik.
            “Kertasnya masih bagus kok. Bagian belakangnya masih kosong, jadi masih bisa digunakan,” sahut Sandra tenang. Nana tak mengerti bagaimana mungkin Sandra mau menggunakan kertas bekas itu. Menjijikan, pikir Nana.
            Diliriknya laci meja Sandra sekilas. Ternyata tak hanya kertas-kertas bekas yang ada di dalamnya. Ada beberapa bekas pembungkus snack tertata rapi di dalam sebuah kantung plastik. Nana jadi penasaran untuk apa Sandra mengumpulkan sampah-sampah itu?

Friday, May 17, 2013

[Tips Menulis] Selain "Katanya" Apa Lagi?

"Aku nggak mau makan nasi goreng lagi," katanya.

"Pakai saja sepedaku, asal jangan lupa membersihkan," katanya.

Pernah nggak membaca cerita yang akhir dialognya banyak dibubuhi "katanya"? Sebenarnya, banyak lho, kata lain yang bisa dipakai untuk menggantikan "katanya." Nah, ini beberapa kata yang kami (saya, Fasya, Fayanna, dan Keisya) temukan tadi sore saat kami bermain kata.

Tuesday, May 14, 2013

[Refleksi] Pendengar yang Baik


Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Parenting, Edisi Maret 2008.



Meski sudah menikah hampir empat tahun lamanya, bukan berarti saya dan suami sudah benar-benar saling memahami satu sama lain. Masa pacaran yang kami lalui selama sekitar dua tahun pun ternyata tidak menjamin bisa membuat kami selalu rukun tanpa adanya perbedaan pendapat. Seperti halnya pasangan lain, kami tidak luput berselisih paham.
            Satu hal yang sering kali kami membuat kami berselisih paham adalah keinginan saya (atau suami) untuk didengarkan. Kelihatannya ini merupakan hal yang sepele yang seharusnya tidak perlu kami ributkan. Tapi kenyataannya, justru masalah ’mendengarkan dan didengarkan’ inilah yang paling sering terjadi dalam kehidupan kami.

Sunday, May 12, 2013

[Karya Keisya] Jalan-jalan Ke Kota Tua


Hai, Adik-adik!
Suka jalan-jalan? Dan pengen tulisannya dimuat di majalah? Yuk, coba tulis pengalamanmu jalan-jalan. Panjang tulisannya sekitar 1,5 halaman (spasi 1,5. font 12). Jangan lupa, sertakan juga foto-fotonya ya. 
Nah, kalau tulisanmu bagus, pasti redaktur memuatnya di majalah. Seperti tulisan Keisya ini. Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Irfan, Juni 2012. Baca, yuk!


Halaman 1
Halaman 2

Bukan yang Terhebat

Cerpen ini pernah dimuat di Majalah Bravo Vo 2/No. 21 Tahun 2008



Di negeri peri, peri Nessa terkenal akan kehebatannya. Dia cerdas, bisa menghitung dengan cepat, pandai menyanyi dan menari, serta ringan tangan. Dia juga ramah dan periang. Selain itu, parasnya cantik jelita. Pokoknya, banyak hal bisa dilakukannya dengan baik. Hampir semua peri suka padanya. Mereka sering membicarakan kehebatan-kehebatannya.
            “Aku yakin pasti peri Nessa akan memenangkan lomba menyanyi dan menari di festival tahunan nanti,” kata peri Melissa.
Sebentar lagi negeri peri akan mengadakan festival tahunan untuk merayakan panen buah beri. Biasanya di festival tahunan itu selalu diadakan berbagai macam acara untuk meramaikannya.
            “Benar, dia hebat di banyak hal. Bisa-bisa semua lomba dimenangkannya seperti tahun kemarin,” sahut peri Lessie disertai anggukan peri-peri lain.

Thursday, May 2, 2013

"Cepat Habiskan!"


           
Tulisan ini pernah dimuat di majalah Parenting, edisi Februari 2011. Idenya datang ketika, saya berada di sebuah restoran bersama putri saya. 


“Cepat habiskan!”

Gadis kecil itu, yang saya taksir usianya sekitar empat tahunan, dengan takut-takut berusaha memasukkan potongan makanan sambil mendesiskan mulutnya, tanda dia merasa kepedasan. Ketakutan membuatnya memaksakan diri menelan makanan itu, meski dia tak suka makanan itu. Sementara wajah sang ibu di hadapannya terlihat gusar.