|
Dimuat di Majalah Gadis No. 30. 7-17 November 2014 |
“Aku kesal sama Mama,” Andin mengadu
pada Erika.
Erika
urung menyuap pancake di hadapannya. Sore itu, mereka berdua sedang makan di
sebuah kafe kesayangan mereka. Pantas saja wajah Andin seharian ini seperti
baju yang belum disterika. Kusut.
“Masak,
Mama menyuruhku magang di kedai rotinya selama liburan,” lanjut Andin tanpa
diminta.
Erika
mengangkat alis. Jadi itu yang bikin Andin kesal? Erika mulai menangkap maksud
Andin.
“Kamu
kan tahu yang ingin kulakukan liburan ini. Aku ingin jalan-jalan. Backpaking
juga boleh. Nggak perlu mahal-mahal,” ujar Andin. Andin memegang kuat-kuat
garpu dan pisaunya, menekannya pada pancake seolah-olah pancake itu steak liat.
Erika
hampir tersedak karena geli.
“Lalu
maumu bagaimana? Kalau mamamu nggak mengijinkan, nggak ada gunanya memaksa. Mau
nekad? Jangan deh, restu orangtua itu penting,” Erika mengingatkan. Tingkah
Andin memang terkadang seperti anak kecil. Tapi justru karena itu mereka cocok.
Erika lebih mirip kakak ketimbang teman bagi Andin.
“Backpacking
nggak butuh biaya banyak kali, Rik. Aku yakin Mama bisa kasih uang. Tapi Mama
bilang, aku harus magang dulu di kedainya. Nanti Mama kasih gaji. Nah, gaji itu
bisa aku pakai untuk jalan-jalan,” kata Andin panjang lebar.
“Tuh,
mamamu bukan nggak mau ngasih kan. Hanya saja tidak mau kasih ikannya. Kamu
harus mengail dulu. Lalu apa masalahnya? Bantu di kedai bukan masalah besar,”
Erika mendorong Andin.
Mata
Andin melotot mendengarnya.
“What? Bantu Mama di kedai? Mau ditaruh
di mana mukaku. Kedai Mama sering dijadikan tempat nongkrong Rendy dan
teman-temannya, tahu,” Andin hampir menjerit.
“Stt…
nggak usah teriak gitu. Aku masih dengar,” sahut Erika. “Justru itu, kamu bisa
berteman lebih dekat dengan Rendy kan. Lihat sisi positifnya, dong.”
Andin
menggeleng kuat-kuat.
“No…
no…” katanya. “Rendy anak orang kaya. Dia pasti langsung ilfil lihat aku, jadi
pelayan kedai,” Andin mengibaskan rambut panjangnya dengan gaya centil.
Sekarang
gantian Erika yang menggeleng-gelengkan kepala.
“Terserah
kamulah,” katanya akhirnya. “Kalau kamu nggak butuh saranku, buat apa kita ke
sini. Mending aku tidur di rumah,” protesnya.
Andin
diam saja. Dia kembali sibuk dengan pancakenya. Tiba-tiba…
“Permisi,
ada tambahan, Kak?”
Erika
dan Andin mendongak. Seorang cowok berbadan atletis, berkulit putih sedang
tersenyum manis pada mereka. Oh My God, Rendy! Iya, Rendy yang tadi mereka
bicarakan. Kok dia ada di sini? Andin tak habis pikir.
“Oh…
eh… “ Andin tergagap. “Kamu…,” katanya.
“Iya,
aku,” Rendy kembali memamerkan deretan gigi-giginya yang putih.
“Kok,
kamu ada di sini?” tanya Andin bingung. Beberapa kali dia dan Erika datang ke
kafe itu, tidak pernah sekalipun bertemu Rendy. Lagipula, buat apa dia kerja?
“Kebetulan,
aku sedang bantu orangtuaku. Aku magang di sini selama liburan. Ya,
hitung-hitung latihan kerja. Kalau mau jadi pengusaha, harus tahu rasanya jadi
karyawan dulu, kata mereka,” Rendy menerangkan. Sama sekali tak tampak rasa
malu maupun gugup di wajahnya.
Erika
menahan tawa. Sementara, wajah Andin mendadak berubah kemerahan. Rendy si
cakep, yang kabarnya anak orang kaya itu saja mau magang jadi pelayan.
Sedangkan dia… oh, tiba-tiba Andin ingin menghilang dari bumi ini saking
malunya!
“Jadi,
kalian mau pesan apa lagi?” tanya Rendy lagi.
Andin
cepat-cepat menggeleng.
“Baiklah.
Panggil aku saja kalau kalian mau pesan lagi ya,” ujar Rendy ramah. “Oya, soal
magang. Bilang sama mamamu, kalau boleh, aku juga mau magang di kedainya.
Masakan mamamu enak. Aku juga ingin belajar masak,” ucap Rendy sambil mengedipkan
mata.
Wajah
Andin terasa panas, nggak menyangka Rendy mendengar percakapan mereka.
Sementara itu Erika yang ada di depannya menertawainya sampai puas. Kali ini,
rasanya Andin ingin cepat-cepat pulang! [Fita Chakra]
Buat yang ingin kirim ke rubrik Percikan, ini ketentuannya:
- Panjang tulisan 2 halaman folio.
- Tema seputar dunia remaja.
- Kirim melalui e-mail ke GADIS.Redaksi@feminagroup.com
- Jangan lupa tulis no. rek dan fotocopy buku tabungan di halaman depan.