Sunday, December 28, 2014

Jejak Langkah 2014

Tulisan ini sekadar untuk mencatat rekam jejak saya. Mudah-mudahan bisa membuat saya semakin bersemangat, sekaligus menularkan semangat untuk orang lain. Walau ada sedikit masalah di tulang belakang (hingga sekarang saya masih menjalani terapi), saya tetap bersyukur bisa menjalani hari-hari dengan baik.

Januari
Rainy's Days, novel remaja pertama saya terbit. Rada-rada nggak percaya sih sebenarnya karena menulis novel untuk segmen remaja masih dalam tahap trial. Alhamdulillah, novel ini meraih Juara 1 dalam Lomba Novel Bluestroberi yang diadakan Penerbit Ice Cube.
Di bulan ini, Allah mengabulkan doa saya untuk pergi umroh bersama suami. Alhamdulillah, bahagia rasanya.

Tuesday, December 23, 2014

[Percikan] Magang

Dimuat di Majalah Gadis No. 30. 7-17 November 2014

“Aku kesal sama Mama,” Andin mengadu pada Erika.
Erika urung menyuap pancake di hadapannya. Sore itu, mereka berdua sedang makan di sebuah kafe kesayangan mereka. Pantas saja wajah Andin seharian ini seperti baju yang belum disterika. Kusut.
“Masak, Mama menyuruhku magang di kedai rotinya selama liburan,” lanjut Andin tanpa diminta.
Erika mengangkat alis. Jadi itu yang bikin Andin kesal? Erika mulai menangkap maksud Andin.
“Kamu kan tahu yang ingin kulakukan liburan ini. Aku ingin jalan-jalan. Backpaking juga boleh. Nggak perlu mahal-mahal,” ujar Andin. Andin memegang kuat-kuat garpu dan pisaunya, menekannya pada pancake seolah-olah pancake itu steak liat.
Erika hampir tersedak karena geli.
“Lalu maumu bagaimana? Kalau mamamu nggak mengijinkan, nggak ada gunanya memaksa. Mau nekad? Jangan deh, restu orangtua itu penting,” Erika mengingatkan. Tingkah Andin memang terkadang seperti anak kecil. Tapi justru karena itu mereka cocok. Erika lebih mirip kakak ketimbang teman bagi Andin.
“Backpacking nggak butuh biaya banyak kali, Rik. Aku yakin Mama bisa kasih uang. Tapi Mama bilang, aku harus magang dulu di kedainya. Nanti Mama kasih gaji. Nah, gaji itu bisa aku pakai untuk jalan-jalan,” kata Andin panjang lebar.
“Tuh, mamamu bukan nggak mau ngasih kan. Hanya saja tidak mau kasih ikannya. Kamu harus mengail dulu. Lalu apa masalahnya? Bantu di kedai bukan masalah besar,” Erika mendorong Andin.
Mata Andin melotot mendengarnya.
What? Bantu Mama di kedai? Mau ditaruh di mana mukaku. Kedai Mama sering dijadikan tempat nongkrong Rendy dan teman-temannya, tahu,” Andin hampir menjerit.
“Stt… nggak usah teriak gitu. Aku masih dengar,” sahut Erika. “Justru itu, kamu bisa berteman lebih dekat dengan Rendy kan. Lihat sisi positifnya, dong.”
Andin menggeleng kuat-kuat.
“No… no…” katanya. “Rendy anak orang kaya. Dia pasti langsung ilfil lihat aku, jadi pelayan kedai,” Andin mengibaskan rambut panjangnya dengan gaya centil.
Sekarang gantian Erika yang menggeleng-gelengkan kepala.
“Terserah kamulah,” katanya akhirnya. “Kalau kamu nggak butuh saranku, buat apa kita ke sini. Mending aku tidur di rumah,” protesnya.
Andin diam saja. Dia kembali sibuk dengan pancakenya. Tiba-tiba…
“Permisi, ada tambahan, Kak?”
Erika dan Andin mendongak. Seorang cowok berbadan atletis, berkulit putih sedang tersenyum manis pada mereka. Oh My God, Rendy! Iya, Rendy yang tadi mereka bicarakan. Kok dia ada di sini? Andin tak habis pikir.
“Oh… eh… “ Andin tergagap. “Kamu…,” katanya.
“Iya, aku,” Rendy kembali memamerkan deretan gigi-giginya yang putih.
“Kok, kamu ada di sini?” tanya Andin bingung. Beberapa kali dia dan Erika datang ke kafe itu, tidak pernah sekalipun bertemu Rendy. Lagipula, buat apa dia kerja?
“Kebetulan, aku sedang bantu orangtuaku. Aku magang di sini selama liburan. Ya, hitung-hitung latihan kerja. Kalau mau jadi pengusaha, harus tahu rasanya jadi karyawan dulu, kata mereka,” Rendy menerangkan. Sama sekali tak tampak rasa malu maupun gugup di wajahnya.
Erika menahan tawa. Sementara, wajah Andin mendadak berubah kemerahan. Rendy si cakep, yang kabarnya anak orang kaya itu saja mau magang jadi pelayan. Sedangkan dia… oh, tiba-tiba Andin ingin menghilang dari bumi ini saking malunya!
“Jadi, kalian mau pesan apa lagi?” tanya Rendy lagi.
Andin cepat-cepat menggeleng.
“Baiklah. Panggil aku saja kalau kalian mau pesan lagi ya,” ujar Rendy ramah. “Oya, soal magang. Bilang sama mamamu, kalau boleh, aku juga mau magang di kedainya. Masakan mamamu enak. Aku juga ingin belajar masak,” ucap Rendy sambil mengedipkan mata.

Wajah Andin terasa panas, nggak menyangka Rendy mendengar percakapan mereka. Sementara itu Erika yang ada di depannya menertawainya sampai puas. Kali ini, rasanya Andin ingin cepat-cepat pulang! [Fita Chakra]

Buat yang ingin kirim ke rubrik Percikan, ini ketentuannya:
  • Panjang tulisan 2 halaman folio.
  • Tema seputar dunia remaja.
  • Kirim melalui e-mail ke GADIS.Redaksi@feminagroup.com
  • Jangan lupa tulis no. rek dan fotocopy buku tabungan di halaman depan.