Saturday, January 31, 2015

Paris, Hari Itu #TravellingtoEurope (Part 7)

Tanggal 6 Januari malam, kami tiba di Paris. Malam itu kami berencana istirahat saja. Di hotel, kami memesan tiket masuk ke Musee de Louvre. Tiket masuk ke museum itu bermacam-macam jenisnya. Tapi kami memesan yang paling murah. Setelahnya, kami Auchan, supermarket yang ada di samping hotel untuk mengambil tiket.

Tuesday, January 27, 2015

Brussel, One Day Tour #TravellingtoEurope (Part 6)

Pagi-pagi buta (iya, menjelang jam 8 pagi rasanya masih kayak subuh. Gelap banget), tanggal 5 Januari 2015 saya dan suami berangkat ke Brussel, Belgia. Dede dan Wim mengantar kami ke halte ID Bus. Kebetulan Wim akan berangkat kerja Senin pagi itu, jadi sekalian gitu deh berangkatnya. Sementara Dede, libur di hari Senin. That’s why, Wim said, “I hate Monday.” And Dede said, “I love Monday.” Haha.

Sunday, January 18, 2015

Amsterdam, We're Coming #TravellingtoEurope (Part 5)

Transit di Abu Dhabi senalam membuat kami terpaksa menghapus rencana jalan-jalan ke Frankfurt dari itinerary. Cuma sempat menginap semalam di Heidelberg (setelah mengingtip Frankfurt saat gelap di malam hari dan pagi harinya). Tanggal 3 pagi kami berangkat ke Amsterdam karena sudah berjanji menemui sepupu saya di sana. Lagipula kami sudah terlanjur membeli tiket kereta ICE. Sayang kalau dibatalkan.

Thursday, January 15, 2015

Terjebak di Abu Dhabi Airport #TravellingtoEurope (Part 4)

Rabu sore tanggal 31 Desember 2014, saya berangkat menuju kantor suami. Khawatir jika lalu lintas Jakarta crowded menjelang pergantian tahun, setelah makan dan sholat maghrib kami menuju bandara. Flight kami pukul 01.40. Namun kami sudah tiba pukul 21.00.

Counter check-in Etihad baru dibuka pukul 22.00. Setelah check-in, kami segera naik lalu menunggu di depan gate. Teman seperjalanan kami kebanyakan adalah orang-orang yang akan pergi berumroh. Mereka transit di Abu Dhabi.

Persiapan Travelling Ala Semi Backpacker Saat Winter #TravellingtoEurope (Part 3)

Pergi jalan-jalan saat winter itu susah-susah gampang. Susahnya, bawaannya jadi banyak karena bajunya tebel-tebel. Enaknya, nggak perlu sering ganti baju karena relatif nggak berkeringat. Bagi saya dan suami yang baru kali ini bepergian saat winter, tentunya butuh persiapan. Terlebih untuk saya yang  well prepared. Mengenai persiapan, saya dan suami sempat beberapa kaliadu argumen. Pasalnya, suami saya tipe easy going, jadi kalau saya bilang butuh beli ini itu sebelum berangkat hampir selalu dijawab, "Beli di sana saja."

Wednesday, January 14, 2015

Mengurus Visa Schengen di Kedutaan Jerman #TravellingToEurope (Part 2)

Setelah urusan penyandang dana beres, saya mulai mencari info mengurus Visa Schengen.  Semakin banyak baca, saya semakin pusing.  Masalahnya, yang saya apply ini visa kunjungan atau visa turis ya?

Yang pasti karena tujuan utama kami ke Jerman, apply visanya ke Kedutaan Jerman. Karena saya belum pernah mengurus visa, saya datang ke sebuah travel agen. Habisnya, tanya ke suami juga percuma. Selama ini dia ke luar negeri untuk urusan kantor. Jadi tinggal berangkat karena semuanya sudah diurus kantor.

Sampai di travel agen, saya disodori list syarat yang harus saya siapkan untuk mendapatkan visa. Biayanya 1,3 juta untuk pengurusan sekaligus visanya. Saya pikir-pikir nggak papalah bayar segitu kalau bisa bikin saya bebas pusing. Sebenarnya biaya resmi visa sekitar 60 Euro atau 910 ribu.

Nah, setelah ngobrol-ngobrol sama salah satu petugas travel agen itu, entah kenapa saya malah jadi ragu. Masalahnya begini, saya kan nanya, “Bagaimana kalau saya nggak nginap di hotel tetapi nginap di tempat adik saya?”
Jawabnya, “Ibu nggak perlu menyertakan surat konfirmasi hotel tetapi harus mengurus surat gementee dari walikota setempat.”
“Terus saya ini pakai visa turis atau visa kunjungan, Mbak?”
“Ibu tetap pakai visa turis tapi Ibu harus mengurus gementee itu.”

Yang mana setelah saya tanyakan pada adik saya, di sana nggak ada istilah tersebut. Yang ada adalah Verplicthungserklarung (ini surat susah banget nyebutnya, jadi saya dan adik saya bilang “klarung” saja hehehe), yaitu surat jaminan dari keluarga adik saya. Untuk mengurus surat itu, adik ipar saya (adik saya belum bisa mengundang karena belum lama tinggal di sana, belum punya resident permit) harus menyerahkan sejumlah deposit ke imigrasi setempat.

Urusan ini sempat bikin saya galau to-the-max, soalnya si petugas travel agen ngotot bahwa saya juga harus membuktikan keuangan walaupun sudah ada surat jaminan itu. Ini bikin adik saya berkomentar, “Sudah tanya ke petugas imigrasi di sini dan dia bilang bukti keuangan atau deposit. Nggak perlu dua-duanya karena itu opsi.”

Sambil nunggu surat jaminan itu selesai diproses, sekitar 1 minggu, saya mengurus kelengkapan lainnya, yang berderet banyaknya. Apa aja itu?
  1. Paspor. Pastikan masa berlakunya lebih dari 6 bulan dari tanggal kedatangan kita ke tujuan. Lampirkan paspor lama jika ada.
  2. Pasfoto berwarna terbaru ukuran 3,5x4,5=2 lembar. Latar belakang putih, di-zoom 70%. Saran saya, datanglah ke studio foto yang menyediakan layanan foto visa. Saya googling dan akhirnya memutuskan ke Jl. Sabang, di tempat itu banyak studio foto untuk visa. Saya pilih Studio Djakarta. Pengalaman saya, nggak lama kok. Ditunggu 15 menit selesai.
  3. Surat sponsor berbahasa Inggris di atas kop perusahaan. Yang ini, suami yang mengurus karena dia yang bekerja formal. Nama saya dicantumkan di surat tersebut. Inti surat itu untuk menjamin bahwa kami pergi atas biaya sendiri dan akan kembali karena memiliki pekerjaan tetap di Indonesia.
  4. Bukti keuangan 3 bulan terakhir, berupa fotocopy rekening Koran dan surat referensi dari bank. Jumlah saldo nggak ada ketentuan pasti. Travel agen bilang minimal 50 jt per orang. Kenyataannya, saya googling, mungkin nggak harus segitu sih, yang penting cukup untuk keperluan selama tinggal di sana. Sumber lain mengatakan, asalkan ada aliran dana keluar masuk sebesar nominal yang cukup selama tinggal di sana itu sudah oke. Jangan sampai tiba-tiba ada dana besar di rekening karena itu akan dianggap dana pinjaman. Yang ini, ternyata langsung dikembalikan saat saya wawancara di kedutaan. Padahal udah repot-repot ngurus di bank huhuhu. Ya, ternyata benar kata adik saya. Kalau sudah ada surat undangan dan jaminan, kami sebagai orang yang diundang, nggak perlu membuktikan keuangan.
  5. Fotocopy akte nikah, karena di sini saya ikut suami bepergian.
  6. Print out tiket pesawat. Urusan ini cukup bikin pusing juga, karena dicoba-coba reservasi sendiri ternyata mesti ngelewati menu payment dulu supaya bisa di-print. Padahal kami nggak mau dong bayar dulu sementara visa belum beres. Lagipula, kedutaan hanya minta tiket yang belum dibayar kok. Akhirnya setelah utak-atik, kami dapat tiket Qatar Airways dengan cara on hold booking alias belum dibayar. Lucunya, sebelumnya suami sempat kirim email ke Etihad untuk dibantu dan hari berikutnya mendapatkan itinerary tiket yang dimaksud. Jadi kami punya 2 tiket untuk urusan visa.
  7. Surat konfirmasi hotel. Meski nggak nginap di hotel selama di Jerman, saya hunting hotel di Amsterdam. Kami rencananya mau ke sana utnuk mengunjungi sepupu saya yang menikah sama orang Belanda. Kalau teman-teman ada yang mau book hotel untuk syarat visa, sekarang tidak bisa pakai voucher dari agen-agen semacam agoda dan sebagainya. Harus dari hotelnya langsung.
  8. Asuransi perjalanan dengan uang pertanggungan USD 50.000 atau 30.000 Euro. Awalnya, adik ipar saya memberikan beberapa opsi asuransi dari Jerman serta menawarkan untuk menguruskan di sana. Setelah membaca dan garuk-garuk kepala (maklum pakai bahasa Jerman, saya mesti pakai Google Translate untuk nerjemahin. Thanks to Mbah Google!), akhirnya saya putuskan urus sendiri. Saya pilih Travel Pro dari Allianz. Urusannya cukup mudah. Tinggal kirim email, dibales hari berikutnya. Saya diminta kirim scan tiket dan paspor lalu mereka buatkan polisnya. Saya transfer biayanya, sekitar  500 ribu untuk paket Family. Besoknya polis asli dikirim ke rumah.
  9. Surat undangan dan Verplicthungserklarung. Yang ini dikirim adik saya dari Jerman. Saya print email-email kami. Sempat bingung lagi (kebanyakan bingung ya?) apakah Verplicthungserklarung ini mesti ditunjukan aslinya atau tidak? Akhirnya ngikut kata adik ipar saya. Katanya, waktu ngundang ibunya, ditunjukkan pun nggak ditengok karena ini akan dibutuhkan di sana saat mereka mencairkan deposit. Jadi cukup copy saja. Ya wis, kami bawa copy saja. Yang akhirnya, sempet ditanya aslinya dong waktu kami ke kedutaan. Tapi etika saya bilang nggak sempet kirim karena sudah appointment hari ini, petugasnya minta kami bawa saat pengambilan visa. Setelah merepotkan adik saya untuk mengirim surat itu via DHL (yang mana biayanya cukup besar, sekitar 60 Euro untuk paket kilat), surat itu kami terima 3 hari dari tanggal pengiriman. Sayangnya, pas ambil visa, ditengok pun nggak. Suami saya yang ngambil, sukses sakit hati hehehe.
  10. Fotocopy paspor, visa, akte lahir, dan surat nikah adik saya. Ini untuk membuktikan hubungan kekerabatan kami.
  11. Formulir online. Bisa diunduh di web kedutaan Jerman, disimpan jika masih belum lengkap mengisinya dan di-print untuk dibawa ke kedutaan.
Oya, pada akhirnya saya nggak lewat travel agen. Okelah kalau lewat travel agen bisa ngurangi stres. Tapi ini sama saja. Mana saya mesti nunggu kalau supaya diuruskan asuransi dan tiketnya pula. Alasannya, supaya sekalian, kalau sudah lengkap semua baru bisa diurus sekalian appointment, katanya. Daripada nunggu-nunggu semakin mepet waktunya, jadilah saya bikin appointment sendiri.

Cara membuat appointmentnya juga mudah. Tinggal klik menu appointment di web kedutaan Jerman (http://www.jakarta.diplo.de/). Pilih jenis visa yang akan di-apply. Pilih tanggal dan jam. Isi data (yang dibutuhkan hanya nomor paspor), lalu akan saya mendapatkan e-mail balasan. E-mail itu saya print untuk bukti appointment di kedutaan.

Setelah wawancara, kami mendapatkan sepotong kertas untuk bukti pengambilan 7 hari kemudian. Tepat di hari itu, suami saya berbekal surat kuasa dari saya mengambil visa. Alhamdulillah… Rasanya luar biasa lega.






Durian Runtuh Itu Adalah #TravellingToEurope (Part 1)

Jalan-jalan ke Eropa, siapa sih yang nggak kepingin? Demikian juga saya. Bahkan, sekitar 2-3 tahun lalu, saya sudah membuat rencana untuk pergi ke sana tahun 2016. Ya, tiap tahun saya selalu membuat resolusi. Salah satu poin yang masuk ke dalam resolusi tahunan adalah travelling. Nggak selalu tercapai sih, tapi alhamdulillah membuat resolusi bikin saya semangat menabung karena ada tujuan.

Setelah tahun 2014 saya dan suami berumroh, tahun depan  rencananya kami sekeluarga ingin pergi ke Singapura. Mau ngajak anak-anak jalan-jalan. Namun rupanya, Allah berkehendak lain. Akhir Oktober lalu, saat saya sibuk berburu tiket ke Singapura, tiba-tiba durian runtuh itu datang.

Let’s start this story. Jadi ceritanya begini.

Pertengahan Oktober, adik saya berangkat ke Jerman untuk melanjutkan sekolah S3. Dia dan suaminya, yang sama-sama berprofesi sebagai dosen, mendapatkan beasiswa di sana. Adik ipar saya sudah lebih dulu berangkat, sekitar 1,5 tahun lalu. Dia tinggal di Frankfurt. Adik saya dan anaknya yang berusia 3,5 tahun menyusul bulan Oktober ini setelah semua urusan beasiswa dan visa beres. Mereka pindah ke Heidelberg, tempat adik saya sekolah. Walaupun adik ipar saya kuliah di Frankfurt sedangkan adik saya di Heidelberg, itu tak masalah karena jarak Frankfurt-Heidelberg bisa ditempuh dalam waktu 1 jam saja.

Saat adik saya berangkat, dia mengajak serta mertuanya. Ini karena mereka butuh bantuan selama 3 bulan pertama. Tadinya, ibu saya yang akan menemani mereka. Tapi berhubung ibu saya yang sudah pensiun itu (ternyata) punya banyak kesibukan, beliau tidak bisa pergi selama 3 bulan. Untuk itu, ibu saya berjanji akan datang di awal Januari untuk menjemput besannya. Kenapa perlu dijemput? Karena baru kali itu, mertua adik saya pergi ke luar negeri. Kalau tidak ada orang yang bersamanya, tentu saja mereka khawatir.

Udah dong, rencana sudah disusun rapi. Ibu saya sudah mau siap-siap bikin visa setelah adik saya dan keluarganya berangkat. Eh, tahu-tahu, ibu menelepon saya, “Gimana kalau kamu saja yang berangkat Januari nanti?”

Ekh.

Saya mau saja sebenarnya… Tapi, gimana anak-anak kalau saya pergi? Lagipula, saya pergi sama siapa? Sendiri? Haduh, saya juga belum pernah ke Eropa sendiri. Kalau masih Asia kelihatannya saya pede saja. Sempat terpikir untuk nekat, mumpung ada kesempatan. Tapi saya nggak berani kalau belum minta ijin suami.

Akhirnya, saya beranikan diri ngomong ke suami. Dan bener saja, dia langsung nolak dengan alasan macam-macam. Mulai dari siapa yang ngurus anak-anak sampai biaya. Pupus harapan saya untuk pergi ke sana.

Dengan jujur saya pun ngomong ke ibu saya. Ibu menjanjikan untuk menjaga anak-anak kalau saya pergi. Ternyata, bapak saya langsung menawarkan untuk menanggung tiketnya. Bahkan sekalian tiket suami kalau dia mau ikut. Memang sih, tiket ini merupakan komponen biaya yang cukup besar. Merasa dapat angin segar saya langsung bujuk suami. Kali ini masalahnya, bisakah dia mendapat cuti yang lumayan lama?

Alhamdulillah, pengajuan cutinya di-acc. Lumayanlah bisa pergi 12 hari, karena kebetulan di awal tahun ada beberapa hari libur, jadinya cutinya hanya sekitar 7-8 hari. Sisanya memang libur. Yay! Habis itu, saya nggak bisa tidur mikirin mau kemana saja nanti. Dengan visa Schengen, nggak mungkin dong ke Jerman aja. Maunya ke banyak tempat sekitar Jerman sekalian. Deg-degan rasanya memikirkan liburan tak terduga ini. Nggak henti-henti saya mengucap syukur. Kalau bukan karena keajaiban ini, tentu saja Eropa masih sebatas mimpi. Walaupun untuk biaya lainnya mesti nguras tabungan, ya gak papalah, memang sudah dniatkan tabungannya untuk jalan-jalan, kan.