Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Parenting, Edisi Maret 2008.
Meski sudah menikah hampir empat
tahun lamanya, bukan berarti saya dan suami sudah benar-benar saling memahami
satu sama lain. Masa pacaran yang kami lalui selama sekitar dua tahun pun
ternyata tidak menjamin bisa membuat kami selalu rukun tanpa adanya perbedaan
pendapat. Seperti halnya pasangan lain, kami tidak luput berselisih paham.
Satu
hal yang sering kali kami membuat kami berselisih paham adalah keinginan saya
(atau suami) untuk didengarkan. Kelihatannya ini merupakan hal yang sepele yang
seharusnya tidak perlu kami ributkan. Tapi kenyataannya, justru masalah
’mendengarkan dan didengarkan’ inilah yang paling sering terjadi dalam
kehidupan kami.
Memang,
kami berdua memiliki sifat yang bertolak belakang. Saya termasuk orang yang organized, yang melakukan segala
sesuatunya sesuai planning. Sedangkan
suami saya justru jarang melakukan sesuatu berdasarkan rencana, dan bahkan
tidak memiliki target apa yang perlu dikerjakan.
Hal
lain yang membedakan kami yaitu sudut pandang melihat masalah. Saya tergolong
tipe yang sering kali melihat suatu masalah dengan serius. Sementara suami saya
tidak pernah ambil pusing dengan masalah yang ada. Bahkan, saking santainya
bisa dibilang dia tipe cuek, yang melihat masalah sebagai hal yang tidak perlu
terlalu dipikirkan.
Mungkin
perbedaan seperti ini yang akhirnya membuat saya merasa tidak didengarkan
ketika berkeluh kesah. Suatu kali saya pernah dibuat kesal ketika saya
mendapati rumah dalam keadaan yang luar biasa berantakan sepulang bepergian.
Waktu itu, saya mudik ke rumah orang tua saya selama dua minggu. Ketika
kembali, saya kaget melihat keadaan rumah yang kotor, pakaian kotor, koran,
gelas dan piring yang belum dicuci ada dimana-mana. Saya yang suka keteraturan
dan ingin rumah selalu tampak rapi, langsung mengomel panjang lebar.
”Ayah
gimana sih? Masak rumah dibiarkan berantakan begini?”
”Nggak
sempat beres-beres, Bunda. Ayah kan pulang malam terus,” begitu jawabnya.
Tanpa
mendengar jawabannya, saya katakan padanya, ”Ayah kan tidak harus beres-beres
setiap hari. Lagipula, apa sih susahnya mengembalikan barang di tempatnya? Lihat nih, koran kok ditaruh di meja makan, di
kamar mandi, di sofa... Memangnya nggak ada tempatnya? Kan Bunda sudah sediakan
tempat koran.”
Dia
diam saja. Saya lihat sekilas wajahnya tampak kesal mendengar ucapan saya. Tapi
saya tidak peduli karena saya sudah terlanjur kesal dan capek, apalagi waktu
itu hari sudah malam.
Akhirnya
malam itu, bukannya cepat-cepat tidur, saya malah sibuk membereskan rumah. Suami
saya pun terus menerus menjadi sasaran omelan saya. Tidak tahan mendengar
omelan saya, dia pun marah. Dengan suara keras dia memaparkan alasan-alasan
mengapa rumah berantakan. Tentu saja saya justru menjadi semakin kesal. Menurut
saya, alasan-alasan tersebut terlalu mengada-ada, tidak bisa dijadikan alasan
untuk tidak membereskan rumah, apalagi untuk sekedar mengembalikan barang pada
tempatnya. Malam itu pun kami lalui dengan perasaan marah dan kesal.
Lain
waktu, malam hari ketika suami pulang dari kantor dalam keadaan lelah, sambil
bersantai-santai di depan tv saya menceritakan apa saja yang terjadi hari itu. Curhat.
Seharian di rumah, mengurus anak dan rumah kadang membuat saya jenuh. Jadi,
pada siapa lagi saya berkeluh kesah kalau tidak pada suami?
Sembari
bercerita, saya ikuti kemana suami berjalan, mulai dari nonton tv, makan malam,
hingga menjelang tidur. Waktu itu sudah hampir tengah malam. Saya bilang
padanya betapa nggak mudah mengurus anak kami yang belum genap berusia 2 tahun,
kemana-mana mesti diawasi, dan nggak bisa ditinggal sedikitpun saking aktifnya.
Saya juga katakan bagaimana jenuhnya menjadi ibu rumah tangga, plus saya ajukan
usul bagaimana jika saya beraktivitas dengan membuka bisnis sampingan.
Setelah
saya berbicara panjang lebar, saya tanya padanya, ”Bagaimana pendapatmu?”
sambil menengok ke samping saya. Saya langsung terkejut mendapatinya tertidur!
Akhirnya
meskipun kesal, saya diam saja. Dalam hati sebenarnya saya kecewa mengetahui
bahwa apa yang saya katakan mungkin tidak didengarkan sama sekali olehnya. Tapi
apa boleh buat, karena orang yang seharusnya saya inginkan menjadi pendengar
sudah tidur, saya pun tidak bisa protes padanya. Sebenarnya, kejadian seperti
ini tidak hanya terjadi kali ini saja. Di saat saya ingin didengarkan, saya
merasa suami saya tidak peduli
Pagi
harinya, jam lima pagi, sementara saya masih sangat mengantuk, suami saya
bersiap-siap ke kantor. Saya antar dia sampai di depan rumah, malas-malasan dia
berangkat ke kantor, dia bilang masih mengantuk. Saya jadi iba melihatnya.
Tiba-tiba saja saya teringat peristiwa tadi malam. Mungkin karena sayalah dia
jadi kurang tidur. Mungkin jika saya tidak lama-lama berbicara semalam dia akan
tidur lebih cepat. Meskipun ingin didengarkan seharusnya saya tidak memaksakan
untuk mendengarkan dalam keadaan capek.
Saya
juga jadi teringat kejadian beberapa waktu yang lalu, ketika kami bertengkar
karena keadaan rumah yang berantakan. Setelah saya renungkan, saat itu saya
sama sekali tidak mendengarkan alasannya, apalagi memahami keadaannya. Sebaliknya,
pada kejadian tadi malam sayalah yang seharusnya ingin didengarkan dan
dipahami.
Terlepas
dari siapa yang ingin didengarkan, akhirnya saya menyadari bahwa menjadi
pendengar yang baik ternyata tidak mudah. Mendengar, bukan hal yang sepele,
karena tidak hanya membutuhkan telinga saja. Tetapi juga memerlukan kepekaan
hati dan empati. Yang seringkali terjadi, kita terlalu egois, ingin didengarkan
tapi tidak mau mendengarkan keinginan atau keadaan orang lain. Seharusnya,
sebagai pasangan, saya dan suami bisa sama-sama berusaha untuk menjadi pendengar
yang baik. Jadi tidak ada yang merasa diabaikan karena tidak didengarkan.
Akhirnya
saya sadar untuk menjadi pendengar yang baik, kita tidak hanya sekedar
’mendengarkan’, yang mungkin hanya lewat di telinga kita. Kita juga perlu
’mendengarkan’ dengan mata hati kita yang paling dalam, yang bisa membantu kita
memahami perasaan dan keadaan orang lain. [Fita Chakra]
komunikasi yang baik memang sangat penting :) mbak fita ini produktif sekali ya menulisnya...saya salut banget:)
ReplyDeleteMakasih banyak sudah berkunjung kesini. Alhamdulillah, mudah-mudahan bisa tetap rajin berkarya :)
Deletekalau saya kebalikan mbak, saya yang suka ngebrantakin, ntar suami saya yang beresin. hahaha..
ReplyDeletekalo motto di rumah tangga saya adalah :
"bilang apa yang kamu mau. mana orang lain tau kalau kamu gag bilang"
nah ntar dari apa yang diutarakan, sama2 kita cari solusinya dan titik tengahnya. kira2 begitu yang terjadi di RT saya.
salam kenal ya mak. hebat euyy tulisannya dimuat di majalah... :)
Saya yang tukang beres-beres di rumah :p Sekarang sih, karena sudah tahu sifatnya kami blak-blakan satu sama lain. Mungkin juga karena usia pernikahan kami sudah bertambah. :)
Deleteyah hal sepele memang tapi akan berakibat fatal bila dilanggar yah bunda :) . luar biasa sabarnya yah
ReplyDeleteHehehe iya, perlu belajar setiap waktu untuk jadi pendengar yang baik. :)
Deletependengar yang baik, akan jadi berarti juga, jika menjadi pemberi solusi yang baik buat yang curhat tsb :)
ReplyDeleteKatanya, kadang-kadang perempuan hanya ingin didengarkan. Kecuali kalau mereka minta solusi. :)
Deletememang Mbak.. komunikasi dalam rumah tangga itu sangat penting, tentunya komunikasi itu dua arah.. hehe.. sama pengalamannya, sdh cerita panjang kali lebar sama dengan luas ehh suami malah sudah tidur.. errrr.. rasanyaa kesel tapi ga bisa ngebangunin kasian kayaknya sdh capek banget
ReplyDeleteIya, sekarang sih maklum aja. Sudah sama-sama paham :)
DeleteLuar biasa,, mendengar tak hanya butuh telinga juga butuh empati dan kepekaan hati. Kalo hanya telinga saja mungkin bisa masuk kuping kiri keluar kuping kanan.
ReplyDeleteIya, numpang lewat :p
Delete