Sunday, April 14, 2013

Resolusi Tahun Baru



Dimuat di Majalah Parenting Edisi Desember 2009



“Bunda jahat!” teriak Keisya, gadis kecil saya yang sekarang berusia 4 tahun. Saya terperanjat kaget. Seumur-umur baru kali ini saya mendengarnya berkata demikian. Batin saya tidak siap menerima kalimat kasar yang terlontar dari bibir mungilnya. Marah, kecewa, dan sedih bercampur aduk menjadi satu. Saya “hanya” menolak menemaninya menggambar dan seperti itu responnya? Sungguh tak bisa dipercaya!
Saya ingin berteriak padanya saat itu juga. Saya ingin dia tahu bahwa saat itu saya sedang bekerja dan tidak ingin diganggu. Tapi melihatnya menangis sesegukan di pojok kamar hati saya yang penuh amarah mendadak meleleh dan sekejap berubah menjadi terharu. Apa yang telah saya lakukan hingga membuatnya kecewa seperti itu? Saya bertanya-tanya dalam hati.
Maka saya dekati dia, meninggalkan tulisan saya di komputer yang belum terselesaikan. Biarlah saya tunda dulu menulis hingga Keisya dan adik-adiknya tidur, pikir saya.
“Ada apa, Nak?” tanyaku pelan padanya.
“Bunda jahat! Bunda nggak mau main sama Keisya! Sama adik-adik juga!” serunya membuat jantung hati saya seperti tertusuk ribuan jarum.
“Bunda kan lagi kerja, Sayang… Nanti juga pasti Bunda main sama Keisya, Kiera, dan Kiara,” bujuk saya.
“Bunda bohong! Kemarin juga bilang begitu, tapi nggak jadi main. Kemarinnya lagi juga…” tuntutnya lagi.
Saya terpana mendengar perkataannya. Saya tak menyangka dia masih ingat perkataan saya kemarin. Saya bahkan sudah lupa telah berjanji padanya! Duh, ibu macam apa saya ini?
Malam itu demi melihat senyumnya kembali muncul di wajah mungilnya, saya tinggalkan sejenak kesibukan saya untuk menemaninya bermain bersama kedua adiknya. Setelah mereka tidur barulah saya mengendap-endap bangkit dari tempat tidur untuk kembali bekerja.
Tapi malam itu pikiran saya terus menerus melayang pada kejadian tadi. Tentu saja, bagaimana mungkin saya bisa berkonsentrasi setelah anak saya sendiri berkata demikian. Hati saya terusik untuk merenung sejenak. Keisya memang anak yang keras, tapi dia tidak pernah mengatakan saya “jahat”. Pelan-pelan saya mulai merunut peristiwa-peristiwa yang sebelumnya terjadi yang mungkin membuat Keisya bersikap demikian keras terhadap saya. Tiada asap tanpa api. Pasti ada sesuatu yang melatarbelakangi kejadian ini.
Saya teringat awal kesibukan saya dimulai. Dulu saat Keisya lahir, sebagian besar waktu saya tercurah untuknya. Bisa dibilang kesibukan saya hanya urusan rumah dan mengurusnya. Tetapi ketika saya memutuskan menekuni dunia tulis menulis di tahun 2007, sedikit demi sedikit saya mulai menargetkan diri saya untuk menulis ini dan itu. Writing is my passion. Maka tidak heran jika di tahun 2007 dan 2008 resolusi tahun baru saya pun tak jauh-jauh dari dunia tulis menulis. Menyelesaikan minimal tiga tulisan dalam seminggu, membuat serta mengirimkan paling sedikit tiga naskah buku dalam setahun, dan menjalin komunikasi yang intens dengan komunitas penulis. Sama sekali tidak ada resolusi saya yang berkaitan dengan hubungan saya dan anak.
Di akhir tahun 2008 keluarga kami mengalami sebuah cobaan yang membuat mata hati dan pikiran saya terbuka. Saat saya hamil untuk kedua kalinya, suami saya mengalami sebuah kecelakaan. Akibatnya, dia sempat dirawat di ruang intensif sebuah rumah sakit selama beberapa waktu. Waktu itu saya sempat berpikir dia tidak bisa bekerja lagi dengan baik karena kondisinya itu. Syukurlah, tidak berapa lama dia sembuh total. Namun, kecelakaan itu membuat saya berpikir ulang mengenai profesi saya sebagai penulis.
Saya memang mencintai pekerjaan saya, tetapi saya tidak bisa menggantungkan seluruh harapan saya hanya pada tulis menulis. Pepatah yang mengatakan, “jangan menaruh seluruh telur Anda dalam satu keranjang” mungkin cocok untuk diterapkan. Tidak mungkin keluarga kami menggantungkan seluruh keluarga hanya dari satu sumber penghasilan.
Saya sungguh berharap keluarga kami baik-baik saja. Tetapi tetap saja seharusnya saya bersiap jika sesuatu yang terburuk terjadi. Manusia bisa saja berencana tetapi Tuhan yang berkuasa bukan? Saya ingin bisa mandiri secara finansial, apalagi jika memikirkan tiga orang anak yang bergantung pada kami berdua. Tentu ketiganya membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Maka di awal tahun 2009 resolusi tahun baru saya mendapatkan tambahan satu target yang berbeda dibandingkan dua tahun sebelumnya. Selain “mencanangkan” beberapa target menulis seperti tahun sebelumnya, saya juga bertekad untuk membuka sebuah usaha yang bisa menjadi sumber penghasilan kami sekeluarga. Berkat tekad yang kuat dan dorongan dari seorang teman, akhirnya sebuah kios laundry berhasil kami buka.
Konsekuensinya, saya harus banyak meluangkan waktu untuk terjun langsung mengelola usaha yang baru seumur jagung itu. Setelah kios tersebut buka seluruh pikiran dan perhatian saya banyak tercurah disana. Setiap hari saya mondar-mandir mengurus ini itu kesana. Saya masih terus menulis di sela-sela kesibukan saya yang baru. Saya ingin target-target pribadi saya tercapai seluruhnya. Memang membutuhkan perjuangan keras untuk membuat keduanya berjalan beriringan. Tapi saya yakin saya pasti bisa.
Tetapi, tanpa sadar saya semakin sering meninggalkan rumah dan mengurangi waktu kebersamaan saya bersama anak-anak. Saya juga sering menolak ajakan Keisya bermain. Belakangan, saya bahkan sudah jarang sekali membacakan buku atau menceritakan cerita karangan saya sendiri pada anak-anak. Bahkan saya tidak bisa menikmati waktu bersama mereka karena sering merasa terburu-buru. Di saat menemani mereka bermain, pikiran saya melayang pada kinerja karyawan. Sementara saat saya bersama anak-anak menonton film kartun kesukaan mereka saya ingin sekali mengetik sembari nonton karena tidak ingin membuang waktu mengerjakan tulisan.
Malam itu, saya tersadar mengapa Keisya protes sedemikian kerasnya pada saya. Saya tahu, belakangan ini saya banyak mengabaikan anak-anak saya. Saya mengesampingkan mereka karena fokus mengejar impian dan target pribadi saya. Si kembar Kiera dan Kiara mungkin masih terlalu kecil untuk bisa protes, tetapi Keisya tidak. Dia sudah tahu bahwa perlakuan saya yang berbeda dulu dan sekarang.
Dulu, hampir setiap waktu saya bisa bersamanya, sedangkan sekarang tidak. Dulu, saya hampir tidak pernah menolak ajakannya bermain, menonton DVD kesukaannya, atau sekedar membuka buku bersamanya. Saya menikmati setiap detik bersamanya. Sekarang? Hampir setiap waktu saya terburu-buru mengerjakan berbagai macam kegiatan. Saya jadi kurang bisa menikmati kebersamaan bersamanya karena pikiran saya terbagi dengan pekerjaan. Saya terburu-buru bangun, mengerjakan berbagai pekerjaan rumah cepat-cepat, lalu mengantarnya ke sekolah segera karena ingin segera “terbebas” dari rengekannya.
Dan pastinya, tanpa saya sadari pula, saya juga lebih sering mengalahkannya kepentingannya dibandingkan kepentingan adik-adiknya. Ya, saya sering katakan padanya untuk banyak mengalah karena adik-adiknya yang lebih kecil tentu membutuhkan perhatian ekstra. Apalagi sekarang mereka sudah mulai belajar berjalan.
Malam itu, tiba-tiba saja segumpal perasaan sesal merasuk ke dalam relung hati saya. Dada saya sesak menyadari hal-hal itu. Saya ingin menangis. Saya ingat tujuan saya dulu ketika memutuskan bekerja dari rumah: karena ingin mendampingi anak-anak tumbuh besar dengan bimbingan dari tangan saya sendiri. Tapi apa kenyataannya kini? Saya terlalu sibuk mengejar mimpi saya hingga melupakan keinginan gadis kecil saya untuk bersama ibunya. Saya kini tahu, mengapa belakangan ini dia sering merengek tak jelas alasannya. Saya jadi mengerti mengapa pula emosinya menjadi tak stabil. Keisya yang ceria sering marah-marah hanya karena saya tidak mau menunggunya sebentar sebelum dia masuk ke dalam kelas. Ini pasti karena dia ingin memperpanjang waktu bersama saya.
Detik ini juga saya mulai memasukkan anak-anak ke dalam daftar resolusi tahun 2010. Menulis dan bisnis tetap menjadi salah satu resolusi saya. Tetapi saya tambahkan dua hal penting yang menjadi prioritas saya tahun depan. Pertama, mengatur waktu antara pekerjaan dan rumah tangga dengan baik. Kedua, menikmati waktu bersama anak-anak dan meluangkan waktu khusus untuk mereka setiap harinya. Saya memahami hal ini pasti tidak mudah, tapi saya yakin saya bisa melakukannya. Resolusi perlu dibuat agar saya punya target yang harus dicapai. Dan jika saya mau berhasil, saya memang wajib membuat target-target seperti itu agar tidak membuang-buang waktu untuk hal-hal yang tidak perlu. Jika tidak, bisa-bisa setahun berlalu tanpa pencapaian apapun. Yah, sepertinya tahun depan saya harus bekerja ekstra keras nih!

Fita Chakra
*Mama dari tiga gadis kecil yang sedang berusaha menyeimbangkan waktu antara pekerjaan dan keluarga

4 comments :

  1. Saya menitikkan air mata baca ini, Mbak. Ini mewakili perasaan saya banget. TFS :)

    ReplyDelete
  2. Sama-sama :) aku masih sering baca-baca untuk pengingat :)

    ReplyDelete
  3. Sama-sama :) aku masih sering baca-baca untuk pengingat :)

    ReplyDelete
  4. mbak Fit, aku jadi tertampar baca ini. Kadang kalo thifa ngajak main suka kutolak juga gara2 kepengen nulis. Stelah kupikir2 harusnya kputusanku untuk kerja di rumah membuatku menikmati waktu brsama thifa, tapi knapa ini jadi malah hampir sama aja kayak kerja kantoran

    ReplyDelete