Tuesday, April 23, 2013

Perjalanan yang Menyenangkan

Tulisan ini pernah dimuat di majalah Parenting, Oktober 2010


Tahun ini adalah tahun ketujuh pernikahan kami. Itu artinya, sudah tujuh tahun pula kami hidup jauh dari orangtua, baik orangtua saya maupun suami. Selama itu pulalah setiap tahun kami melakukan perjalanan menggunakan mobil, menempuh jarak berkilo-kilo meter jauhnya demi merayakan lebaran bersama keluarga besar kami.
            Perjalanan mengendarai mobil memang menjadi pilihan kami karena tentu akan lebih mudah dan hemat jika kami membawa barang bawaan kami yang tak pernah sedikit jumlahnya itu ke dalam mobil, ketimbang menggunakan pesawat atau kereta api. Hingga kini, setelah anak-anak kami lahir, mobil tetaplah menjadi satu-satunya alat transportasi yang membawa kami mudik ke kampung halaman selama bertahun-tahun. Ekonomis dan cukup nyaman.
            Perjalanan panjang yang kami lalui setiap tahunnya cukup menyenangkan. Tetapi pengalaman tahun lalu, sungguh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Tahun lalu merupakan kali pertamanya kami mudik bersama ketiga anak kami, setelah tahun sebelumnya kami hanya perlu membawa satu anak, karena waku iu si kembar kami belum lahir. Meskipun sedikit repot, kami tetap antusias melakukan perjalanan itu karena kami yakin perjalanan ini akan menyenangkan. Dengan tiga anak yang lincah, sehat dan lucu bersama kami apalagi yang perlu kami khawatirkan? Tidak ada yang dapa mengalahkan kebersamaan yang hangat ini.
Di awal perjalanan, anak-anak masih segar dan dapat bersikap manis. Mereka tertawa-tawa, bercanda satu sama lain, sama sekali idak bersikap menjengkelkan. Saa itu, karena perjalanan kami dimulai sesudah sahur, mereka malah mengantuk. Jadi, setelah bersiap-siap, mereka tertidur nyenyak di mobil.
Hingga beberapa jam ke depan setelah kami berangkat suasana akan senyap. Di saat seperti itulah saya dan suami dapat bercakap-cakap tentang berbagai hal tanpa gangguan. Kami berdua sangat menikmati perjalanan seperti ini. Sementara saya mengajaknya mengobrol, dia akan menanggapinya dengan hati yang senang sembari menyetir. Selama berahun-tahun kesempatan seperti inilah yang selalu kami tunggu-tunggu.
            Tetapi kali itu suasana tenang dan menyenangkan tersebut tidak berlangsung lama. Setengah perjalanan kemudian, masalah pun datang.
Kami menyadari bahwa bepergian mengendarai mobil di saat menjelang lebaran tentu bukan perkara mudah. Namun demikian, kami tak mengira keadaan akan menjadi kacau seperti saa itu.
Jalanan yang macet membuat perjalanan menjadi lama lalu tanpa kami kira ternyata dapat meningkatkan level emosi kami. Belum lagi ditambah dengan rewelnya anak-anak karena kelelahan sepanjang perjalanan. Benar-benar tantangan bagi kesabaran kami yang sungguh luar biasa! Gambaran tentang perjalanan yang menyenangkan yang saya bayangkan hancur seketika karenanya.
Siang hari, saat matahari bersinar terik, kesabaran kami berdua pun ikut luruh bersama peluh. Perbincangan saya dan suami pun tak lagi bisa berlangsung dalam pembicaraan yang hangat. Sedikit saja ada seorang anak kami yang rewel, saya ataupun suami bisa menaikkan nada suara kami lebih tinggi alias membentak. Kami saling membentak, saling melontarkan kata-kata yang pedas satu sama lain. Dan juga menyuruh anak-anak diam sejenak. Bukannya diam, ketidaksabaran kami ini malah membuat mereka menangis kencang.
Kami jadi saling menyalahkan. Juga menyalahkan situasi yang terjadi di luar kami. Menyalahkan kondisi jalan yang macet. Menyalahkan para pengendara mobil lainnya yang berpacu saling menyalip. Menyalahkan anak-anak yang tidak bisa tenang. Karena mereka, kami sering berhenti di perjalanan paling tidak setengah jam setiap kalinya untuk menyuapi mereka, pergi ke toilet, dan duduk-duduk sejenak di rest area. Tentu saja, semakin sering kami berhenti akan semakin lama kami sampai di tempat tujuan. Apapun kami jadikan kambing hitam atas kondisi yang tidak menyenangkan ini.
Akhirnya, di tengah perjalanan kami pun memuuskan berhenti untuk makan siang. Di tengah kerepotan mengawasi tingkah anak-anak yang berlarian kesana kemari, saya berusaha membagi perhatian saya pada piring di hadapan saya. Terus terang, di saat seperti itu, makanan sepertinya hanya numpang lewat saja di mulut tanpa saya rasakan kelezatannya. Yang ada dalam pikiran saya hanyalah memastikan bahwa anak-anak tidak melakukan hal-hal yang membahayakan. Tetapi perhatian saya tiba-tiba terputus ketika sebuah suara bentakan terdengar.
“Bisa diam tidak?!” seorang ibu nampak membentak anaknya yang saya taksir usianya masih seusia anak pertama kami. Di sampingnya seorang anak lelaki terisak-isak berusaha menahan tangis. Sementara ayahnya seakan tak peduli padanya.
Sesaat kemudian aku tersentak. Betapa terlukanya anak itu! Hati saya ikut hancur melihatnya. Namun sedetik kemudian saya tertegun. Adegan itu, seperti melihat cerminan apa yang kami lakukan tadi terhadap anak-anak kami. Kemarahan membuat kami lupa, bahwa apa yang mereka lakukan tentulah karena mereka belum mengerti betul apa yang kami maksud. Dan kemarahan kami, tidak pada tempatnya, karena meskipun kami marah hingga membentaknya, belum tentu dia paham penyebab kemarahan kami. Yang erjadi kemudian adalah mereka aku, bukan paham.
Lagipula, apakah salah jika karena mereka lelah, mereka menjadi rewel? Wajar jika tingkah mereka menjadi menyebalkan, itu semua karena mereka tidak bisa mengungkapkan rasa capeknya dalam perkataan dan malah melampiaskannya dalam tangis. Liha saja, kami saja yang sudah dewasa masih sering bertingkah seperti itu!
Sungguh, saya malu sekali pada diri saya sendiri! Bagaimana mungkin kami berharap, anak-anak dapat mengendalikan emosinya dengan baik apabila kami malah memberi mereka contoh nyata di depannya?
Melalui perbincangan panjang dengan suami, kami akhirnya menyadari bagaimanapun menyenangkan atau tidaknya sebuah perjalanan, itu sebenarnya tergantung pada kami sendiri. Tidak perlu menyalahkan segala hal yang terjadi. Tahun ini, kami berharap dapat melalui perjalanan kami ke kampung halaman dengan menyenangkan. Tanpa amarah dan tanpa rasa kesal di hati. Karenanya, kami merancang perjalanan yang santai, tidak terburu-buru. Jika perlu, kami akan menginap di suatu tempat dan juga lebih cepat pulang agar tak terjebak kemacetan di jalan.

*Fita Chakra, mama dari tiga putri yang bertekad melakukan perjalanan yang menyenangkan lebaran kali ini.

6 comments :

  1. iya betul Fit, orang tua emang gampang banget terpancing emosi oleh anak2nya tanpa sadar bahwa pertunjukan emosi itu justru menjadi bumerang di masa2 yg akan datang. si anak jelas akan mencontoh sikap itu *self introspection ;)

    ini kenapa huruf T nya banyak yg hilang Fit hihihiiii...

    ReplyDelete
  2. tergantung pikiran kita ya, mba fita. semoga selalu lancar saat perjalanan ya :D

    ReplyDelete
  3. betul, Mak. Makanya selama masih ada anak kecil sy kalo pergi jauh selalu kyk pindahan. Gadget, mainan, buku cerita, dll di bawa sebanyak2nya supaya mereka tenang. Kalo hrs brenti di jalan ya brenti aja dulu. Pokoknya di bawa santai :)

    ReplyDelete
  4. tahun ini anakku usianya 2 tahun kalau lebaran nanti. dan memang butuh tenaga ekstra nampaknya kalau mau bepergian jauh. makasih untuk tulisannya yang membantu :)

    ReplyDelete
  5. benar mbak, sikap anak-anak kadang memancing emosi, namun sebagai orang tua mestilah dapat selalu menjaga sikap agar tidak sampai bertutur kata kasar, krn anak-anak biasanya meniru sikap orang tua kelah.

    ReplyDelete
  6. oya mbak minta blognya sudah saya follow, minta izinnya

    ReplyDelete