Dimuat di Majalah Parenting Edisi Desember 2009
“Bunda jahat!” teriak Keisya, gadis kecil
saya yang sekarang berusia 4 tahun. Saya terperanjat kaget. Seumur-umur baru
kali ini saya mendengarnya berkata demikian. Batin saya tidak siap menerima
kalimat kasar yang terlontar dari bibir mungilnya. Marah, kecewa, dan sedih
bercampur aduk menjadi satu. Saya “hanya” menolak menemaninya menggambar dan
seperti itu responnya? Sungguh tak bisa dipercaya!
Saya ingin berteriak padanya saat itu juga.
Saya ingin dia tahu bahwa saat itu saya sedang bekerja dan tidak ingin
diganggu. Tapi melihatnya menangis sesegukan di pojok kamar hati saya yang
penuh amarah mendadak meleleh dan sekejap berubah menjadi terharu. Apa yang
telah saya lakukan hingga membuatnya kecewa seperti itu? Saya bertanya-tanya
dalam hati.
Maka saya dekati dia, meninggalkan tulisan
saya di komputer yang belum terselesaikan. Biarlah saya tunda dulu menulis
hingga Keisya dan adik-adiknya tidur, pikir saya.
“Ada
apa, Nak?” tanyaku pelan padanya.
“Bunda jahat! Bunda nggak mau main sama
Keisya! Sama adik-adik juga!” serunya membuat jantung hati saya seperti
tertusuk ribuan jarum.
“Bunda kan lagi kerja, Sayang… Nanti juga
pasti Bunda main sama Keisya, Kiera, dan Kiara,” bujuk saya.
“Bunda bohong! Kemarin juga bilang begitu,
tapi nggak jadi main. Kemarinnya lagi juga…” tuntutnya lagi.
Saya terpana mendengar perkataannya. Saya tak
menyangka dia masih ingat perkataan saya kemarin. Saya bahkan sudah lupa telah
berjanji padanya! Duh, ibu macam apa saya ini?
Malam itu demi melihat senyumnya kembali
muncul di wajah mungilnya, saya tinggalkan sejenak kesibukan saya untuk
menemaninya bermain bersama kedua adiknya. Setelah mereka tidur barulah saya
mengendap-endap bangkit dari tempat tidur untuk kembali bekerja.
Tapi malam itu pikiran saya terus menerus
melayang pada kejadian tadi. Tentu saja, bagaimana mungkin saya bisa
berkonsentrasi setelah anak saya sendiri berkata demikian. Hati saya terusik
untuk merenung sejenak. Keisya memang anak yang keras, tapi dia tidak pernah
mengatakan saya “jahat”. Pelan-pelan saya mulai merunut peristiwa-peristiwa
yang sebelumnya terjadi yang mungkin membuat Keisya bersikap demikian keras
terhadap saya. Tiada asap tanpa api. Pasti ada sesuatu yang melatarbelakangi
kejadian ini.
Saya teringat awal kesibukan saya dimulai.
Dulu saat Keisya lahir, sebagian besar waktu saya tercurah untuknya. Bisa
dibilang kesibukan saya hanya urusan rumah dan mengurusnya. Tetapi ketika saya
memutuskan menekuni dunia tulis menulis di tahun 2007, sedikit demi sedikit
saya mulai menargetkan diri saya untuk menulis ini dan itu. Writing is my passion. Maka tidak heran
jika di tahun 2007 dan 2008 resolusi tahun baru saya pun tak jauh-jauh dari
dunia tulis menulis. Menyelesaikan minimal tiga tulisan dalam seminggu, membuat
serta mengirimkan paling sedikit tiga naskah buku dalam setahun, dan menjalin
komunikasi yang intens dengan komunitas penulis. Sama sekali tidak ada resolusi
saya yang berkaitan dengan hubungan saya dan anak.
Di akhir tahun 2008 keluarga kami mengalami
sebuah cobaan yang membuat mata hati dan pikiran saya terbuka. Saat saya hamil
untuk kedua kalinya, suami saya mengalami sebuah kecelakaan. Akibatnya, dia
sempat dirawat di ruang intensif sebuah rumah sakit selama beberapa waktu.
Waktu itu saya sempat berpikir dia tidak bisa bekerja lagi dengan baik karena
kondisinya itu. Syukurlah, tidak berapa lama dia sembuh total. Namun,
kecelakaan itu membuat saya berpikir ulang mengenai profesi saya sebagai
penulis.
Saya memang mencintai pekerjaan saya, tetapi
saya tidak bisa menggantungkan seluruh harapan saya hanya pada tulis menulis.
Pepatah yang mengatakan, “jangan menaruh seluruh telur Anda dalam satu
keranjang” mungkin cocok untuk diterapkan. Tidak mungkin keluarga kami
menggantungkan seluruh keluarga hanya dari satu sumber penghasilan.
Saya sungguh berharap keluarga kami baik-baik
saja. Tetapi tetap saja seharusnya saya bersiap jika sesuatu yang terburuk
terjadi. Manusia bisa saja berencana tetapi Tuhan yang berkuasa bukan? Saya
ingin bisa mandiri secara finansial, apalagi jika memikirkan tiga orang anak
yang bergantung pada kami berdua. Tentu ketiganya membutuhkan dana yang tidak
sedikit.
Maka di awal tahun 2009 resolusi tahun baru
saya mendapatkan tambahan satu target yang berbeda dibandingkan dua tahun
sebelumnya. Selain “mencanangkan” beberapa target menulis seperti tahun
sebelumnya, saya juga bertekad untuk membuka sebuah usaha yang bisa menjadi
sumber penghasilan kami sekeluarga. Berkat tekad yang kuat dan dorongan dari
seorang teman, akhirnya sebuah kios laundry berhasil kami buka.
Konsekuensinya, saya harus banyak meluangkan
waktu untuk terjun langsung mengelola usaha yang baru seumur jagung itu.
Setelah kios tersebut buka seluruh pikiran dan perhatian saya banyak tercurah
disana. Setiap hari saya mondar-mandir mengurus ini itu kesana. Saya masih
terus menulis di sela-sela kesibukan saya yang baru. Saya ingin target-target
pribadi saya tercapai seluruhnya. Memang membutuhkan perjuangan keras untuk
membuat keduanya berjalan beriringan. Tapi saya yakin saya pasti bisa.
Tetapi, tanpa sadar saya semakin sering
meninggalkan rumah dan mengurangi waktu kebersamaan saya bersama anak-anak.
Saya juga sering menolak ajakan Keisya bermain. Belakangan, saya bahkan sudah
jarang sekali membacakan buku atau menceritakan cerita karangan saya sendiri
pada anak-anak. Bahkan saya tidak bisa menikmati waktu bersama mereka karena
sering merasa terburu-buru. Di saat menemani mereka bermain, pikiran saya
melayang pada kinerja karyawan. Sementara saat saya bersama anak-anak menonton
film kartun kesukaan mereka saya ingin sekali mengetik sembari nonton karena
tidak ingin membuang waktu mengerjakan tulisan.
Malam itu, saya tersadar mengapa Keisya
protes sedemikian kerasnya pada saya. Saya tahu, belakangan ini saya banyak
mengabaikan anak-anak saya. Saya mengesampingkan mereka karena fokus mengejar
impian dan target pribadi saya. Si kembar Kiera dan Kiara mungkin masih terlalu
kecil untuk bisa protes, tetapi Keisya tidak. Dia sudah tahu bahwa perlakuan
saya yang berbeda dulu dan sekarang.
Dulu, hampir setiap waktu saya bisa
bersamanya, sedangkan sekarang tidak. Dulu, saya hampir tidak pernah menolak
ajakannya bermain, menonton DVD kesukaannya, atau sekedar membuka buku
bersamanya. Saya menikmati setiap detik bersamanya. Sekarang? Hampir setiap
waktu saya terburu-buru mengerjakan berbagai macam kegiatan. Saya jadi kurang
bisa menikmati kebersamaan bersamanya karena pikiran saya terbagi dengan
pekerjaan. Saya terburu-buru bangun, mengerjakan berbagai pekerjaan rumah
cepat-cepat, lalu mengantarnya ke sekolah segera karena ingin segera “terbebas”
dari rengekannya.
Dan pastinya, tanpa saya sadari pula, saya
juga lebih sering mengalahkannya kepentingannya dibandingkan kepentingan
adik-adiknya. Ya, saya sering katakan padanya untuk banyak mengalah karena
adik-adiknya yang lebih kecil tentu membutuhkan perhatian ekstra. Apalagi
sekarang mereka sudah mulai belajar berjalan.
Malam itu, tiba-tiba saja segumpal perasaan
sesal merasuk ke dalam relung hati saya. Dada saya sesak menyadari hal-hal itu.
Saya ingin menangis. Saya ingat tujuan saya dulu ketika memutuskan bekerja dari
rumah: karena ingin mendampingi anak-anak tumbuh besar dengan bimbingan dari
tangan saya sendiri. Tapi apa kenyataannya kini? Saya terlalu sibuk mengejar
mimpi saya hingga melupakan keinginan gadis kecil saya untuk bersama ibunya.
Saya kini tahu, mengapa belakangan ini dia sering merengek tak jelas alasannya.
Saya jadi mengerti mengapa pula emosinya menjadi tak stabil. Keisya yang ceria
sering marah-marah hanya karena saya tidak mau menunggunya sebentar sebelum dia
masuk ke dalam kelas. Ini pasti karena dia ingin memperpanjang waktu bersama
saya.
Detik ini juga saya mulai memasukkan
anak-anak ke dalam daftar resolusi tahun 2010. Menulis dan bisnis tetap menjadi
salah satu resolusi saya. Tetapi saya tambahkan dua hal penting yang menjadi
prioritas saya tahun depan. Pertama, mengatur waktu antara pekerjaan dan rumah
tangga dengan baik. Kedua, menikmati waktu bersama anak-anak dan meluangkan
waktu khusus untuk mereka setiap harinya. Saya memahami hal ini pasti tidak
mudah, tapi saya yakin saya bisa melakukannya. Resolusi perlu dibuat agar saya
punya target yang harus dicapai. Dan jika saya mau berhasil, saya memang wajib
membuat target-target seperti itu agar tidak membuang-buang waktu untuk hal-hal
yang tidak perlu. Jika tidak, bisa-bisa setahun berlalu tanpa pencapaian
apapun. Yah, sepertinya tahun depan saya harus bekerja ekstra keras nih!
Fita
Chakra
*Mama dari tiga gadis
kecil yang sedang berusaha menyeimbangkan waktu antara pekerjaan dan keluarga
Saya menitikkan air mata baca ini, Mbak. Ini mewakili perasaan saya banget. TFS :)
ReplyDeleteSama-sama :) aku masih sering baca-baca untuk pengingat :)
ReplyDeleteSama-sama :) aku masih sering baca-baca untuk pengingat :)
ReplyDeletembak Fit, aku jadi tertampar baca ini. Kadang kalo thifa ngajak main suka kutolak juga gara2 kepengen nulis. Stelah kupikir2 harusnya kputusanku untuk kerja di rumah membuatku menikmati waktu brsama thifa, tapi knapa ini jadi malah hampir sama aja kayak kerja kantoran
ReplyDelete