Dimuat di Rubrik Refleksi Majalah Parenting, Agustus 2009. Sekarang, rubrik itu sudah tidak ada.
Tidak
pernah terbayangkan oleh saya bahwa menjadi seorang fulltime mother akan sibuk luar biasa dari pagi menjelang hingga
malam tiba. Apalagi saya juga bekerja dari rumah sebagai penulis lepas. Kalau
dulu selama hampir empat tahun saya ‘hanya’ mengurus rumah, seorang anak plus
suami. Sekarang semuanya sungguh berbeda. ‘Kemerdekaan’ saya berkurang
dibandingkan dulu. Kemerdekaan yang bagi saya berarti kesempatan mendapatkan
waktu untuk diri sendiri alias ‘me time’ sekarang merupakan barang langka yang
hanya sesekali waktu saja saya peroleh. Itupun dengan perjuangan yang ekstra.
Kelahiran kedua putri kami yang lainnya di
awal tahun inilah yang membuat hari-hari saya serasa jungkir balik bak naik roller coaster. Ya, kedua adik Keisya
terlahir kembar identik. Sejak si kembar, Kiera dan Kiara lahir, saya
benar-benar kewalahan membagi waktu. Saat mereka masih berusia beberapa hari,
saya bisa bangun sepuluh kali dalam semalam karena mereka bergantian menangis,
menyusu, dan rewel karena popoknya basah. Waktu itu, saya belum mendapatkan
asisten yang membantu saya mengasuh si kembar. Bisa dibayangkan bagaimana
repotnya kehidupan kami.
Ketika mendapatkan seoarang asisten rumah
tangga, tidak lantas kerepotan itu berkurang secara nyata. Kerepotan ini malah bertambah
dengan kemanjaan si sulung yang muncul kemudian. Mengetahui adiknya lahir
(langsung dua lagi!) dia langsung kembali kekanak-kanakan. Bukannya kemajuan
yang ditunjukkannya tetapi kemunduran. Maunya menempel terus pada saya. Nyaris
tidak ada satu hal pun yang bisa dilakukan tanpa bantuan saya. Padahal, saya
sungguh ingin membuatnya belajar mandiri. Setidaknya, jika dia mau pergi
bersekolah diantar orang lain selain saya, mandi sendiri, atau memakai pakaian
sendiri, itu sudah membuat saya bisa sedikit bernapas lega.
Pagi hari dan malam hari menjadi saat paling
ribet buatku. Pagi hari, saat saya belum rela bangun karena kecapekan, saya
sudah harus siap menghadapi hari. Memandikan anak-anak, menyiapkan Keisya
berangkat sekolah, menyuapinya, dan mengantarnya sekolah. Setelah Keisya
berangkat sekolah, barulah si kembar beralih tangan dari mbak asisten ke saya
lagi. Malam hari saat mereka akan tidur, kembali keributan dimulai. Keisya yang
susah tidur merengek-rengek minta ‘perpanjangan’ waktu bermain. Sementara si
kembar yang sudah ngantuk menangis tak henti-hentinya. Barulah setelah mereka
berhasil dibujuk dengan berbagai cara selama berjam-jam lamanya, akhirnya
mereka tidur.
Tapi bukan berarti setelahnya saya bisa tidur
dengan nyenyak. Si kembar kembali berulah dengan tangis mereka. Sementara
Keisya bangun beberapa kali untuk pipis dan minum. Hah, kapan saya bisa
istirahat?
Kemerdekaan saya seperti terampas oleh
kesibukan yang tak ada habisnya. Saya bahkan sudah lupa kapan terakhir kali
saya bisa membaca buku dengan santai dan tenang, tanpa ada yang menganggu.
Karena kurangnya kuantitas dan kualitas tidur serta waktu rileks saya, saya
merasa emosi saya tidak stabil. Saya sering marah-marah mendapati hal-hal kecil
yang tak sempurna di mata saya. Kadang-kadang, saya merasa putus asa jika tidak
bisa meredakan tangis si kembar atau kerewelan si sulung yang minta selalu
diperhatikan. Saya juga sering senewen saat si kembar menangis bersamaan,
sementara saya tidak bisa memegang keduanya dalam waktu yang sama. Saya lelah
lahir dan batin.
Saya mulai berpikir ulang menata hidup saya,
mengurai satu persatu hal-hal yang bisa mulai saya lepaskan dan atur kembali. Dihadapkan
pada kenyataan yang demikian membuat saya tersadar, saya bukan supermom yang bisa melakukan banyak hal
sekaligus tanpa merasa lelah sekalipun. Saya butuh waktu untuk diri saya
sendiri dan butuh merasa rileks agar saya bisa tenang dan dapat merawat
anak-anak dengan baik.
Pertama-tama saya mulai berpikir untuk
membuat Keisya mandiri. Setidaknya jika dia bisa melepas ketergantungannya
sedikit demi sedikit, saya punya waktu untuk mengurus hal lainnya. Masalahnya
karena kekhawatiran saya yang terlalu berlebihan, dia seringkali tidak percaya
diri melakukan sesuatu. Maka mulai saat itulah saya rubah sikap saya yang
sedikit-sedikit mengomeli dan mengomentari hasil kerjanya. Kalau tidak diberi
kebebasan melakukan segala sesuatunya sendiri kapan dia bisa mandiri, begitu
pikir saya.
Agar dia lebih pede melakukan segala sesuatu
sendiri, pelan-pelan saya berikan dia kebebasan memilih. Saya minta dia memilih
sendiri pakaian yang akan dikenakannya, menantangnya mandi sendiri, dan tidur
di kamar sendiri. Semuanya dengan reward
yang mendidik versi saya, seperti membelikannya sebuah majalah anak-anak
terbaru, membacakan cerita dari buku yang dipilihnya, atau bermain sepeda di
minggu pagi bersama kami.
Lama kelamaan, dia mulai bisa beraktivitas
tanpa harus ditemani. Bahkan dia merasa bebas dengan bersikap mandiri.
Belakangan, saat liburan panjang tiba, dia mau menginap di tempat Opa dan
Omanya selama beberapa hari tanpa kami temani. Bahkan dengan cerianya dia
merencanakan apa-apa yang akan dilakukannya disana, tanpa ada larangan ini itu
dari saya, ibunya yang super cerewet. Maklum, seperti ibu-ibu yang lainnya saya
seringkali melarangnya bermain ini itu, misalnya bermain pasir yang membuatnya
belepotan atau melarangnya melompat-lompat di kasur karena khawatir akan
keselamatannya. Padahal, siapa sangka kegiatan seperti itu justru mengasyikkan
menurut anak?
Hmm… ternyata kebebasan yang saya berikan untuk
Keisya agar dia berlatih mandiri menjadi berkah pula buat saya. Alih-alih repot
berteriak-teriak menyuruhnya berhenti melompat-lompat atau bermain pasir, saya
mengalihkan sebagian energi saya untuk melakukan kegiatan yang saya sukai,
meskipun sambil tetap mengawasinya dari kejauhan. Sembari mengawasinya, saya
bisa merebahkan tubuh sejenak selama sepuluh menit di dekatnya.
Satu hal teratasi, saya lalu mulai berpikir
bagaimana caranya agar saya bisa tidur nyenyak di malam hari. Selama ini tidur
bersama si kembar yang menangis bergantian setiap malam membuat saya tidak bisa
tidur nyenyak. Apa boleh buat, akhirnya saya putuskan untuk memisahkan mereka
berdua saat tidur. Satu orang tidur bersama si mbak, satunya lagi bersama saya
bergantian setiap malam. Demikian pula saat tidur siang. Ternyata hasilnya
cukup menggembirakan. Karena tidak disatukan dalam satu ruang, otomatis saat
salah seorang menangis, satunya lagi tidak ikut terbangun dan lantas menangis.
Mulai saat itulah saya memilih untuk memisahkan Kiera dan Kiara saat tidur.
Kejam? Mungkin. Tetapi nyatanya, dengan
begitu saya merasa lebih nyenyak tidur dan bangun dalam keadaan yang lebih
segar. Dan jika malamnya saya benar-benar dapat beristirahat, saya merasa cukup
dapat dihandalkan untuk melakukan berbagai hal selama sehari penuh. Menyelesaikan
tulisan di saat Keisya berada di sekolah, bangun pagi tepat pada waktunya, dan
jarang marah-marah jika anak-anak rewel. Kebersamaan saya dan anak-anak pun
lebih berkualitas karena saya cukup bisa mengendalikan diri.
Bagi si kembar sendiri, saya tidak melihat
bahwa tidur secara terpisah dengan kembarannya memberikan efek yang buruk.
Tidak berarti kembar selalu harus bersama bukan? Sekarang mereka malah jarang
rewel bersamaan. Kadang-kadang, saat saya merasa fit, saya mengumpulkan mereka
dalam satu tempat tidur demi membunuh perasaan bersalah saya karena sering
memisahkan mereka.
Saya memang tidak mendapatkan kebebasan saya
sepenuhnya setelah memiliki tiga orang putri. Tapi arti kemerdekaan bagi saya
sekarang tidak sama dengan arti kemerdekaan yang saya miliki saat saya belum
menikah atau baru memiliki satu orang anak. Arti kemerdekaan berubah seiring
waktu. Jika bagi Keisya, anak sulung saya, kemerdekaan bisa berarti bebas
melakukan hal-hal yang disukai tanpa ada yang berteriak melarang atau
mencegahnya, bagi saya kemerdekaan adalah mendapatkan waktu yang berarti untuk
melakukan ‘me time’. Tidak berarti ‘me time’ saya menghabiskan waktu berjam-jam
lamanya (meski saya tentu saja tak akan menolak jika mendapatkan kesempatan ini
tentunya), tetapi cukup beristirahat, bisa membaca atau menulis di sela-sela
mengasuh anak, dan sesekali jalan keluar bersama teman-teman, saya rasa sudah
cukup. Bahkan, setengah jam tanpa gangguan bisa membuat saya kembali rileks
sehingga siap menghadapi tantangan berikutnya.
wow, amazing juga caramu solving the problems ya Fit, salut deh.
ReplyDeleteMasih bersyukur apa yg kuhadapi jauh lebih ringan dibandingkan apa yg kau alami :) Towel trio K dulu aahhh (jadi inget poni Dora yg melambai-lambai kapan hari ketemu)
Makasih, Mbak. Justru aku merasa menghadapi si kembar jauh lebih siap dibanding dulu waktu Keisya baru lahir. :) Salam dari Dora eh, Kiera-Kiara hehe
DeleteMakasih, Mbak. Justru aku merasa menghadapi si kembar jauh lebih siap dibanding dulu waktu Keisya baru lahir. :) Salam dari Dora eh, Kiera-Kiara hehe
Delete