Tahun ini adalah tahun ketujuh
pernikahan kami. Itu artinya, sudah tujuh tahun pula kami hidup jauh dari
orangtua, baik orangtua saya maupun suami. Selama itu pulalah setiap tahun kami
melakukan perjalanan menggunakan mobil, menempuh jarak berkilo-kilo meter
jauhnya demi merayakan lebaran bersama keluarga besar kami.
Perjalanan
mengendarai mobil memang menjadi pilihan kami karena tentu akan lebih mudah dan
hemat jika kami membawa barang bawaan kami yang tak pernah sedikit jumlahnya
itu ke dalam mobil, ketimbang menggunakan pesawat atau kereta api. Hingga kini,
setelah anak-anak kami lahir, mobil tetaplah menjadi satu-satunya alat
transportasi yang membawa kami mudik ke kampung halaman selama bertahun-tahun.
Ekonomis dan cukup nyaman.
Perjalanan
panjang yang kami lalui setiap tahunnya cukup menyenangkan. Tetapi pengalaman
tahun lalu, sungguh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Tahun lalu merupakan kali
pertamanya kami mudik bersama ketiga anak kami, setelah tahun sebelumnya kami
hanya perlu membawa satu anak, karena waku iu si kembar kami belum lahir.
Meskipun sedikit repot, kami tetap antusias melakukan perjalanan itu karena
kami yakin perjalanan ini akan menyenangkan. Dengan tiga anak yang lincah,
sehat dan lucu bersama kami apalagi yang perlu kami khawatirkan? Tidak ada yang
dapa mengalahkan kebersamaan yang hangat ini.
Di awal perjalanan,
anak-anak masih segar dan dapat bersikap manis. Mereka tertawa-tawa, bercanda
satu sama lain, sama sekali idak bersikap menjengkelkan. Saa itu, karena
perjalanan kami dimulai sesudah sahur, mereka malah mengantuk. Jadi, setelah
bersiap-siap, mereka tertidur nyenyak di mobil.
Hingga beberapa jam ke
depan setelah kami berangkat suasana akan senyap. Di saat seperti itulah saya dan
suami dapat bercakap-cakap tentang berbagai hal tanpa gangguan. Kami berdua
sangat menikmati perjalanan seperti ini. Sementara saya mengajaknya mengobrol,
dia akan menanggapinya dengan hati yang senang sembari menyetir. Selama
berahun-tahun kesempatan seperti inilah yang selalu kami tunggu-tunggu.
Tetapi
kali itu suasana tenang dan menyenangkan tersebut tidak berlangsung lama.
Setengah perjalanan kemudian, masalah pun datang.
Kami menyadari bahwa
bepergian mengendarai mobil di saat menjelang lebaran tentu bukan perkara
mudah. Namun demikian, kami tak mengira keadaan akan menjadi kacau seperti saa
itu.
Jalanan yang macet
membuat perjalanan menjadi lama lalu tanpa kami kira ternyata dapat
meningkatkan level emosi kami. Belum lagi ditambah dengan rewelnya anak-anak
karena kelelahan sepanjang perjalanan. Benar-benar tantangan bagi kesabaran
kami yang sungguh luar biasa! Gambaran tentang perjalanan yang menyenangkan
yang saya bayangkan hancur seketika karenanya.
Siang hari, saat
matahari bersinar terik, kesabaran kami berdua pun ikut luruh bersama peluh.
Perbincangan saya dan suami pun tak lagi bisa berlangsung dalam pembicaraan
yang hangat. Sedikit saja ada seorang anak kami yang rewel, saya ataupun suami
bisa menaikkan nada suara kami lebih tinggi alias membentak. Kami saling
membentak, saling melontarkan kata-kata yang pedas satu sama lain. Dan juga menyuruh
anak-anak diam sejenak. Bukannya diam, ketidaksabaran kami ini malah membuat
mereka menangis kencang.
Kami jadi saling
menyalahkan. Juga menyalahkan situasi yang terjadi di luar kami. Menyalahkan
kondisi jalan yang macet. Menyalahkan para pengendara mobil lainnya yang
berpacu saling menyalip. Menyalahkan anak-anak yang tidak bisa tenang. Karena
mereka, kami sering berhenti di perjalanan paling tidak setengah jam setiap
kalinya untuk menyuapi mereka, pergi ke toilet, dan duduk-duduk sejenak di rest
area. Tentu saja, semakin sering kami berhenti akan semakin lama kami sampai di
tempat tujuan. Apapun kami jadikan kambing hitam atas kondisi yang tidak menyenangkan
ini.
Akhirnya, di tengah
perjalanan kami pun memuuskan berhenti untuk makan siang. Di tengah kerepotan
mengawasi tingkah anak-anak yang berlarian kesana kemari, saya berusaha membagi
perhatian saya pada piring di hadapan saya. Terus terang, di saat seperti itu,
makanan sepertinya hanya numpang lewat saja di mulut tanpa saya rasakan
kelezatannya. Yang ada dalam pikiran saya hanyalah memastikan bahwa anak-anak
tidak melakukan hal-hal yang membahayakan. Tetapi perhatian saya tiba-tiba
terputus ketika sebuah suara bentakan terdengar.
“Bisa diam tidak?!”
seorang ibu nampak membentak anaknya yang saya taksir usianya masih seusia anak
pertama kami. Di sampingnya seorang anak lelaki terisak-isak berusaha menahan
tangis. Sementara ayahnya seakan tak peduli padanya.
Sesaat kemudian aku
tersentak. Betapa terlukanya anak itu! Hati saya ikut hancur melihatnya. Namun
sedetik kemudian saya tertegun. Adegan itu, seperti melihat cerminan apa yang
kami lakukan tadi terhadap anak-anak kami. Kemarahan membuat kami lupa, bahwa
apa yang mereka lakukan tentulah karena mereka belum mengerti betul apa yang
kami maksud. Dan kemarahan kami, tidak pada tempatnya, karena meskipun kami
marah hingga membentaknya, belum tentu dia paham penyebab kemarahan kami. Yang
erjadi kemudian adalah mereka aku, bukan paham.
Lagipula, apakah salah
jika karena mereka lelah, mereka menjadi rewel? Wajar jika tingkah mereka
menjadi menyebalkan, itu semua karena mereka tidak bisa mengungkapkan rasa
capeknya dalam perkataan dan malah melampiaskannya dalam tangis. Liha saja, kami
saja yang sudah dewasa masih sering bertingkah seperti itu!
Sungguh, saya malu
sekali pada diri saya sendiri! Bagaimana mungkin kami berharap, anak-anak dapat
mengendalikan emosinya dengan baik apabila kami malah memberi mereka contoh
nyata di depannya?
Melalui perbincangan
panjang dengan suami, kami akhirnya menyadari bagaimanapun menyenangkan atau
tidaknya sebuah perjalanan, itu sebenarnya tergantung pada kami sendiri. Tidak
perlu menyalahkan segala hal yang terjadi. Tahun ini, kami berharap dapat
melalui perjalanan kami ke kampung halaman dengan menyenangkan. Tanpa amarah
dan tanpa rasa kesal di hati. Karenanya, kami merancang perjalanan yang santai,
tidak terburu-buru. Jika perlu, kami akan menginap di suatu tempat dan juga lebih
cepat pulang agar tak terjebak kemacetan di jalan.
*Fita Chakra, mama dari tiga putri yang
bertekad melakukan perjalanan yang menyenangkan lebaran kali ini.
iya betul Fit, orang tua emang gampang banget terpancing emosi oleh anak2nya tanpa sadar bahwa pertunjukan emosi itu justru menjadi bumerang di masa2 yg akan datang. si anak jelas akan mencontoh sikap itu *self introspection ;)
ReplyDeleteini kenapa huruf T nya banyak yg hilang Fit hihihiiii...
tergantung pikiran kita ya, mba fita. semoga selalu lancar saat perjalanan ya :D
ReplyDeletebetul, Mak. Makanya selama masih ada anak kecil sy kalo pergi jauh selalu kyk pindahan. Gadget, mainan, buku cerita, dll di bawa sebanyak2nya supaya mereka tenang. Kalo hrs brenti di jalan ya brenti aja dulu. Pokoknya di bawa santai :)
ReplyDeletetahun ini anakku usianya 2 tahun kalau lebaran nanti. dan memang butuh tenaga ekstra nampaknya kalau mau bepergian jauh. makasih untuk tulisannya yang membantu :)
ReplyDeletebenar mbak, sikap anak-anak kadang memancing emosi, namun sebagai orang tua mestilah dapat selalu menjaga sikap agar tidak sampai bertutur kata kasar, krn anak-anak biasanya meniru sikap orang tua kelah.
ReplyDeleteoya mbak minta blognya sudah saya follow, minta izinnya
ReplyDelete