Wednesday, April 3, 2013

Arti Kemerdekaan


Dimuat di Rubrik Refleksi Majalah Parenting, Agustus 2009. Sekarang, rubrik itu sudah tidak ada.



Tidak pernah terbayangkan oleh saya bahwa menjadi seorang fulltime mother akan sibuk luar biasa dari pagi menjelang hingga malam tiba. Apalagi saya juga bekerja dari rumah sebagai penulis lepas. Kalau dulu selama hampir empat tahun saya ‘hanya’ mengurus rumah, seorang anak plus suami. Sekarang semuanya sungguh berbeda. ‘Kemerdekaan’ saya berkurang dibandingkan dulu. Kemerdekaan yang bagi saya berarti kesempatan mendapatkan waktu untuk diri sendiri alias ‘me time’ sekarang merupakan barang langka yang hanya sesekali waktu saja saya peroleh. Itupun dengan perjuangan yang ekstra.
Kelahiran kedua putri kami yang lainnya di awal tahun inilah yang membuat hari-hari saya serasa jungkir balik bak naik roller coaster. Ya, kedua adik Keisya terlahir kembar identik. Sejak si kembar, Kiera dan Kiara lahir, saya benar-benar kewalahan membagi waktu. Saat mereka masih berusia beberapa hari, saya bisa bangun sepuluh kali dalam semalam karena mereka bergantian menangis, menyusu, dan rewel karena popoknya basah. Waktu itu, saya belum mendapatkan asisten yang membantu saya mengasuh si kembar. Bisa dibayangkan bagaimana repotnya kehidupan kami.
Ketika mendapatkan seoarang asisten rumah tangga, tidak lantas kerepotan itu berkurang secara nyata. Kerepotan ini malah bertambah dengan kemanjaan si sulung yang muncul kemudian. Mengetahui adiknya lahir (langsung dua lagi!) dia langsung kembali kekanak-kanakan. Bukannya kemajuan yang ditunjukkannya tetapi kemunduran. Maunya menempel terus pada saya. Nyaris tidak ada satu hal pun yang bisa dilakukan tanpa bantuan saya. Padahal, saya sungguh ingin membuatnya belajar mandiri. Setidaknya, jika dia mau pergi bersekolah diantar orang lain selain saya, mandi sendiri, atau memakai pakaian sendiri, itu sudah membuat saya bisa sedikit bernapas lega.
Pagi hari dan malam hari menjadi saat paling ribet buatku. Pagi hari, saat saya belum rela bangun karena kecapekan, saya sudah harus siap menghadapi hari. Memandikan anak-anak, menyiapkan Keisya berangkat sekolah, menyuapinya, dan mengantarnya sekolah. Setelah Keisya berangkat sekolah, barulah si kembar beralih tangan dari mbak asisten ke saya lagi. Malam hari saat mereka akan tidur, kembali keributan dimulai. Keisya yang susah tidur merengek-rengek minta ‘perpanjangan’ waktu bermain. Sementara si kembar yang sudah ngantuk menangis tak henti-hentinya. Barulah setelah mereka berhasil dibujuk dengan berbagai cara selama berjam-jam lamanya, akhirnya mereka tidur.
Tapi bukan berarti setelahnya saya bisa tidur dengan nyenyak. Si kembar kembali berulah dengan tangis mereka. Sementara Keisya bangun beberapa kali untuk pipis dan minum. Hah, kapan saya bisa istirahat?
Kemerdekaan saya seperti terampas oleh kesibukan yang tak ada habisnya. Saya bahkan sudah lupa kapan terakhir kali saya bisa membaca buku dengan santai dan tenang, tanpa ada yang menganggu. Karena kurangnya kuantitas dan kualitas tidur serta waktu rileks saya, saya merasa emosi saya tidak stabil. Saya sering marah-marah mendapati hal-hal kecil yang tak sempurna di mata saya. Kadang-kadang, saya merasa putus asa jika tidak bisa meredakan tangis si kembar atau kerewelan si sulung yang minta selalu diperhatikan. Saya juga sering senewen saat si kembar menangis bersamaan, sementara saya tidak bisa memegang keduanya dalam waktu yang sama. Saya lelah lahir dan batin.
Saya mulai berpikir ulang menata hidup saya, mengurai satu persatu hal-hal yang bisa mulai saya lepaskan dan atur kembali. Dihadapkan pada kenyataan yang demikian membuat saya tersadar, saya bukan supermom yang bisa melakukan banyak hal sekaligus tanpa merasa lelah sekalipun. Saya butuh waktu untuk diri saya sendiri dan butuh merasa rileks agar saya bisa tenang dan dapat merawat anak-anak dengan baik.
Pertama-tama saya mulai berpikir untuk membuat Keisya mandiri. Setidaknya jika dia bisa melepas ketergantungannya sedikit demi sedikit, saya punya waktu untuk mengurus hal lainnya. Masalahnya karena kekhawatiran saya yang terlalu berlebihan, dia seringkali tidak percaya diri melakukan sesuatu. Maka mulai saat itulah saya rubah sikap saya yang sedikit-sedikit mengomeli dan mengomentari hasil kerjanya. Kalau tidak diberi kebebasan melakukan segala sesuatunya sendiri kapan dia bisa mandiri, begitu pikir saya.
Agar dia lebih pede melakukan segala sesuatu sendiri, pelan-pelan saya berikan dia kebebasan memilih. Saya minta dia memilih sendiri pakaian yang akan dikenakannya, menantangnya mandi sendiri, dan tidur di kamar sendiri. Semuanya dengan reward yang mendidik versi saya, seperti membelikannya sebuah majalah anak-anak terbaru, membacakan cerita dari buku yang dipilihnya, atau bermain sepeda di minggu pagi bersama kami.
Lama kelamaan, dia mulai bisa beraktivitas tanpa harus ditemani. Bahkan dia merasa bebas dengan bersikap mandiri. Belakangan, saat liburan panjang tiba, dia mau menginap di tempat Opa dan Omanya selama beberapa hari tanpa kami temani. Bahkan dengan cerianya dia merencanakan apa-apa yang akan dilakukannya disana, tanpa ada larangan ini itu dari saya, ibunya yang super cerewet. Maklum, seperti ibu-ibu yang lainnya saya seringkali melarangnya bermain ini itu, misalnya bermain pasir yang membuatnya belepotan atau melarangnya melompat-lompat di kasur karena khawatir akan keselamatannya. Padahal, siapa sangka kegiatan seperti itu justru mengasyikkan menurut anak?
Hmm… ternyata kebebasan yang saya berikan untuk Keisya agar dia berlatih mandiri menjadi berkah pula buat saya. Alih-alih repot berteriak-teriak menyuruhnya berhenti melompat-lompat atau bermain pasir, saya mengalihkan sebagian energi saya untuk melakukan kegiatan yang saya sukai, meskipun sambil tetap mengawasinya dari kejauhan. Sembari mengawasinya, saya bisa merebahkan tubuh sejenak selama sepuluh menit di dekatnya.
Satu hal teratasi, saya lalu mulai berpikir bagaimana caranya agar saya bisa tidur nyenyak di malam hari. Selama ini tidur bersama si kembar yang menangis bergantian setiap malam membuat saya tidak bisa tidur nyenyak. Apa boleh buat, akhirnya saya putuskan untuk memisahkan mereka berdua saat tidur. Satu orang tidur bersama si mbak, satunya lagi bersama saya bergantian setiap malam. Demikian pula saat tidur siang. Ternyata hasilnya cukup menggembirakan. Karena tidak disatukan dalam satu ruang, otomatis saat salah seorang menangis, satunya lagi tidak ikut terbangun dan lantas menangis. Mulai saat itulah saya memilih untuk memisahkan Kiera dan Kiara saat tidur.
Kejam? Mungkin. Tetapi nyatanya, dengan begitu saya merasa lebih nyenyak tidur dan bangun dalam keadaan yang lebih segar. Dan jika malamnya saya benar-benar dapat beristirahat, saya merasa cukup dapat dihandalkan untuk melakukan berbagai hal selama sehari penuh. Menyelesaikan tulisan di saat Keisya berada di sekolah, bangun pagi tepat pada waktunya, dan jarang marah-marah jika anak-anak rewel. Kebersamaan saya dan anak-anak pun lebih berkualitas karena saya cukup bisa mengendalikan diri.
Bagi si kembar sendiri, saya tidak melihat bahwa tidur secara terpisah dengan kembarannya memberikan efek yang buruk. Tidak berarti kembar selalu harus bersama bukan? Sekarang mereka malah jarang rewel bersamaan. Kadang-kadang, saat saya merasa fit, saya mengumpulkan mereka dalam satu tempat tidur demi membunuh perasaan bersalah saya karena sering memisahkan mereka.
Saya memang tidak mendapatkan kebebasan saya sepenuhnya setelah memiliki tiga orang putri. Tapi arti kemerdekaan bagi saya sekarang tidak sama dengan arti kemerdekaan yang saya miliki saat saya belum menikah atau baru memiliki satu orang anak. Arti kemerdekaan berubah seiring waktu. Jika bagi Keisya, anak sulung saya, kemerdekaan bisa berarti bebas melakukan hal-hal yang disukai tanpa ada yang berteriak melarang atau mencegahnya, bagi saya kemerdekaan adalah mendapatkan waktu yang berarti untuk melakukan ‘me time’. Tidak berarti ‘me time’ saya menghabiskan waktu berjam-jam lamanya (meski saya tentu saja tak akan menolak jika mendapatkan kesempatan ini tentunya), tetapi cukup beristirahat, bisa membaca atau menulis di sela-sela mengasuh anak, dan sesekali jalan keluar bersama teman-teman, saya rasa sudah cukup. Bahkan, setengah jam tanpa gangguan bisa membuat saya kembali rileks sehingga siap menghadapi tantangan berikutnya.

3 comments :

  1. wow, amazing juga caramu solving the problems ya Fit, salut deh.
    Masih bersyukur apa yg kuhadapi jauh lebih ringan dibandingkan apa yg kau alami :) Towel trio K dulu aahhh (jadi inget poni Dora yg melambai-lambai kapan hari ketemu)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih, Mbak. Justru aku merasa menghadapi si kembar jauh lebih siap dibanding dulu waktu Keisya baru lahir. :) Salam dari Dora eh, Kiera-Kiara hehe

      Delete
    2. Makasih, Mbak. Justru aku merasa menghadapi si kembar jauh lebih siap dibanding dulu waktu Keisya baru lahir. :) Salam dari Dora eh, Kiera-Kiara hehe

      Delete