Friday, March 21, 2014

Istimewa

Saat diminta mengajar ekskul menulis, tidak terbayang olehku bahwa salah satu anak didikku adalah anak berkebutuhan khusus. Beberapa hari sebelum kelas dimulai, seorang ibu menemuiku. Beliau adalah mama Deya, murid istimewa itu.
“Deya tidak seperti anak-anak yang lainnya, Bu. Dia seringkali bicara dengan intonasi tinggi, atau malah sebaliknya. Dia mungkin akan sulit menangkap penjelasan, lupa, dan lambat mengerjakan tugas. Tapi dia bersemangat sekali ingin belajar menulis,” cerita sang mama.
“Baik, Bu. Saya akan perhatikan,” janjiku.
Sang mama memandangku ragu. Aku bisa menangkap kecemasan di matanya. Aku tak tahu seberapa istimewanya Deya ini. Tapi, kalau aku jadi mamanya, mungkin aku akan bersikap yang sama. Membesarkan anak-anak istimewa butuh cinta dan kesabaran luar biasa.
“Mohon bersabar ya, Bu, menghadapi Deya. Kalau ada apa-apa, boleh kan, saya hubungi Ibu?” tanyanya.
“Tentu saja,” kataku sambil memberikan nomor teleponku.
Ketika beliau pergi, keraguan menyelinap di hatiku. Aku sama sekali tak punya pengalaman mengajar anak berkebutuhan khusus. Apakah aku bisa membimbingnya? Bagaimana jika dia jauh tertinggal dari teman-temannya? Berbagai keraguan muncul.
Aku memutuskan akan mencatat keunikan Deya, lalu memberikan program yang sedikit berbeda dengan teman-temannya jika perlu.
Hari pertamaku mengajar berjalan lancar. Deya sangat kalem, malah jarang terdengar suaranya. Sesekali, kupancing dia saat kesulitan menuliskan kata demi kata.
“Setelah ini apa yang ingin Deya ceritakan?” tanyaku.
 Deya menggaruk-garuk kepalanya.
“Emm… emm… Aku bingung, Bu…,” jawabnya terbata-bata.
“Coba pikir dulu pelan-pelan,” kataku berusaha sabar. Sementara teman-temannya sudah berhasil menyelesaikan satu tulisan, Deya baru sampai pada kalimat ketiga. Itupun meloncat-loncat kalimatnya.
“Emm… emm… Aku belum selesai, Bu… Gimana ini?” Deya mulai panik.
“Nggak apa. Kalau Deya belum selesai nggak apa-apa, kasih Ibu saja,” putusku.
 Begitulah. Setiap kali pertemuan, Deya selalu tak bisa menyelesaikan tugas.
Aku mulai berpikir, Deya tak bisa mengikuti materi yang kuberikan. Selain tugasnya tak selesai, ceritanya meloncat-loncat, dan seringkali tidak bisa ditemukan inti ceritanya. Kuperhatikan juga tokoh yang ditulisnya selalu sama meski ceritanya berbeda.
“Deya, kenapa tidak pakai nama tokoh yang lain?” tegurku suatu kali. Bukannya tidak boleh sih, tapi kebanyakan muridku bisa menulis banyak variasi nama.
Dia menggeleng, “Aku mau yang ini saja.”
Aku pun berhenti membujuknya. Mungkin, inilah uniknya Deya.
Menjelang akhir semester, keraguanku pada Deya mulai membesar. Ketika hampir separuh kelas mengumpulkan tugas akhir, dia belum mengumpulkan. Di detik-detik terakhir Deya baru mengumpulkannya.
“Maaf, Bu. Deya menulisnya sangat lama,” kata mama Deya melalui telepon. “Sudah diarahkan sesuai tema, tapi dia maunya seperti itu,” tambahnya lagi.
“Tidak apa-apa, Bu,” ujarku.
Saat membaca tulisan-tulisan mereka, aku mengikuti naluriku, membaca tulisan anak-anak yang menonjol kemampuannya terlebih dahulu. Sedangkan tulisan Deya dan beberapa anak lainnya berada pada urutan bawah tulisan yang akan kubaca. Ada beberapa tulisan yang unik, khas anak-anak. Aku menandai nama mereka sebagai anak-anak yang berbakat.
Giliran tulisan Deya yang kubaca, aku terkejut. Masih dengan tokoh yang sama dan sedikit kalimat yang meloncat dari inti cerita, cerita Deya justru berbeda dengan yang lainnya. Pasalnya, endingnya sama sekali berbeda dari yang kutebak! Yang lebih membuatku tercengang, Deya menggunakan kata-kata yang jarang dipakai oleh teman-temannya, penempatan tanda bacanya minim koreksi, dan seolah-olah dia sudah mengecek kata-kata yang digunakannya di KBBI. Aku benar-benar terkesima membacanya.
Aku langsung menghubungi sang mama, memberikan apresiasi khusus untuknya.
“Makasih, Bu. Mendengar berita ini bagai angin sejuk. Deya memang diam-diam mendengarkan perkataan orang. Dia pasti memerhatikan semua yang diajarkan Ibu,” ujar sang mama terharu.
Dadaku sesak menahan haru. Aku malu karena diam-diam telah meremehkan Deya. Aku bahkan hampir memintanya membuat tugas yang sama dengan adik-adik kelasnya karena menyetarakan kemampuannya dengan mereka. Aku ingat perbincanganku dan Deya, ketika kutanya cita-citanya.
“Aku mau jadi penulis, Bu,” katanya.

Kurasa, suatu saat Deya akan menjadi penulis hebat. Dan, tulisannya pasti sangat istimewa.

*Terinspirasi dari kisah nyata, nama bukan nama yang sebenarnya. 
** Tulisan ini pernah diikutkan pada sebuah lomba, tetapi tidak lolos.

7 comments :

  1. Subhanallah.. sampe terharu saya bacanya, mak. dia memang tidak sempurna secara fisik, tapi pasti ada keistimewaan lain yang hanya dimiliki olehnya.
    Inspiring. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Mak. Aku belajar banyak dari anak ini :) Makasih sudah berkunjung ya.

      Delete
  2. Saya juga pernah meremehkan salah satu murid saya SD karena kemampuannya yang kurang dibandingkan dengan teman-temannya yang lain Mbak. Tapi subhanaAllah, suatu ketika saya dibilangi sama salah satu temennya kalau anak itu ngajinya sangat pinter, bahkan suaranya dalam bersholawat juga bagus. Saya seketika itu sadar kalau setiap orang pasti punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kita sesama manusia tidak boleh memandang sebelah mata jika melihat kekurangan pada diri seseorang

    ReplyDelete
  3. Waaah mak, mata saya basah baca ini :'(
    Diam-diam menghanyutkan ya..

    ReplyDelete
  4. Keren...bagus fit ceritanya, setiap orang pasti punya kekurangan dan kelebihan :)

    ReplyDelete