Saat
diminta mengajar ekskul menulis, tidak terbayang olehku bahwa salah satu anak
didikku adalah anak berkebutuhan khusus. Beberapa hari sebelum kelas dimulai,
seorang ibu menemuiku. Beliau adalah mama Deya, murid istimewa itu.
“Deya tidak seperti anak-anak yang
lainnya, Bu. Dia seringkali bicara dengan intonasi tinggi, atau malah
sebaliknya. Dia mungkin akan sulit menangkap penjelasan, lupa, dan lambat
mengerjakan tugas. Tapi dia bersemangat sekali ingin belajar menulis,” cerita
sang mama.
“Baik, Bu. Saya akan perhatikan,”
janjiku.
Sang mama memandangku ragu. Aku bisa
menangkap kecemasan di matanya. Aku tak tahu seberapa istimewanya Deya ini.
Tapi, kalau aku jadi mamanya, mungkin aku akan bersikap yang sama. Membesarkan
anak-anak istimewa butuh cinta dan kesabaran luar biasa.
“Mohon bersabar ya, Bu, menghadapi
Deya. Kalau ada apa-apa, boleh kan, saya hubungi Ibu?” tanyanya.
“Tentu saja,” kataku sambil
memberikan nomor teleponku.
Ketika
beliau pergi, keraguan menyelinap di hatiku. Aku sama sekali tak punya
pengalaman mengajar anak berkebutuhan khusus. Apakah aku bisa membimbingnya?
Bagaimana jika dia jauh tertinggal dari teman-temannya? Berbagai keraguan
muncul.
Aku memutuskan akan mencatat keunikan Deya, lalu memberikan
program yang sedikit berbeda dengan teman-temannya jika perlu.
Hari pertamaku mengajar berjalan
lancar. Deya sangat kalem, malah jarang terdengar suaranya. Sesekali, kupancing
dia saat kesulitan menuliskan kata demi kata.
“Setelah ini apa yang ingin Deya
ceritakan?” tanyaku.
Deya menggaruk-garuk kepalanya.
“Emm… emm… Aku bingung, Bu…,”
jawabnya terbata-bata.
“Coba pikir dulu pelan-pelan,”
kataku berusaha sabar. Sementara teman-temannya sudah berhasil menyelesaikan
satu tulisan, Deya baru sampai pada kalimat ketiga. Itupun meloncat-loncat
kalimatnya.
“Emm… emm… Aku belum selesai, Bu…
Gimana ini?” Deya mulai panik.
“Nggak apa. Kalau Deya belum selesai
nggak apa-apa, kasih Ibu saja,” putusku.
Begitulah. Setiap kali pertemuan,
Deya selalu tak bisa menyelesaikan tugas.
Aku mulai berpikir, Deya tak bisa
mengikuti materi yang kuberikan. Selain tugasnya tak selesai, ceritanya
meloncat-loncat, dan seringkali tidak bisa ditemukan inti ceritanya.
Kuperhatikan juga tokoh yang ditulisnya selalu sama meski ceritanya berbeda.
“Deya, kenapa tidak pakai nama tokoh
yang lain?” tegurku suatu kali. Bukannya tidak boleh sih, tapi kebanyakan
muridku bisa menulis banyak variasi nama.
Dia menggeleng, “Aku mau yang ini
saja.”
Aku pun berhenti membujuknya.
Mungkin, inilah uniknya Deya.
Menjelang akhir semester, keraguanku
pada Deya mulai membesar. Ketika hampir separuh kelas mengumpulkan tugas akhir,
dia belum mengumpulkan. Di detik-detik terakhir Deya baru mengumpulkannya.
“Maaf, Bu. Deya menulisnya sangat
lama,” kata mama Deya melalui telepon. “Sudah diarahkan sesuai tema, tapi dia
maunya seperti itu,” tambahnya lagi.
“Tidak apa-apa, Bu,” ujarku.
Saat membaca tulisan-tulisan mereka,
aku mengikuti naluriku, membaca tulisan anak-anak yang menonjol kemampuannya
terlebih dahulu. Sedangkan tulisan Deya dan beberapa anak lainnya berada pada
urutan bawah tulisan yang akan kubaca. Ada beberapa tulisan yang unik, khas
anak-anak. Aku menandai nama mereka sebagai anak-anak yang berbakat.
Giliran tulisan Deya yang kubaca,
aku terkejut. Masih dengan tokoh yang sama dan sedikit kalimat yang meloncat
dari inti cerita, cerita Deya justru berbeda dengan yang lainnya. Pasalnya,
endingnya sama sekali berbeda dari yang kutebak! Yang lebih membuatku
tercengang, Deya menggunakan kata-kata yang jarang dipakai oleh teman-temannya,
penempatan tanda bacanya minim koreksi, dan seolah-olah dia sudah mengecek
kata-kata yang digunakannya di KBBI. Aku benar-benar terkesima membacanya.
Aku langsung menghubungi sang mama,
memberikan apresiasi khusus untuknya.
“Makasih, Bu. Mendengar berita ini
bagai angin sejuk. Deya memang diam-diam mendengarkan perkataan orang. Dia
pasti memerhatikan semua yang diajarkan Ibu,” ujar sang mama terharu.
Dadaku sesak menahan haru. Aku malu
karena diam-diam telah meremehkan Deya. Aku bahkan hampir memintanya membuat
tugas yang sama dengan adik-adik kelasnya karena menyetarakan kemampuannya
dengan mereka. Aku ingat perbincanganku dan Deya, ketika kutanya cita-citanya.
“Aku mau jadi penulis, Bu,” katanya.
Kurasa, suatu saat Deya akan menjadi
penulis hebat. Dan, tulisannya pasti sangat istimewa.
*Terinspirasi dari kisah nyata, nama bukan nama yang sebenarnya.
** Tulisan ini pernah diikutkan pada sebuah lomba, tetapi tidak lolos.
Subhanallah.. sampe terharu saya bacanya, mak. dia memang tidak sempurna secara fisik, tapi pasti ada keistimewaan lain yang hanya dimiliki olehnya.
ReplyDeleteInspiring. :)
Iya, Mak. Aku belajar banyak dari anak ini :) Makasih sudah berkunjung ya.
DeleteSaya juga pernah meremehkan salah satu murid saya SD karena kemampuannya yang kurang dibandingkan dengan teman-temannya yang lain Mbak. Tapi subhanaAllah, suatu ketika saya dibilangi sama salah satu temennya kalau anak itu ngajinya sangat pinter, bahkan suaranya dalam bersholawat juga bagus. Saya seketika itu sadar kalau setiap orang pasti punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kita sesama manusia tidak boleh memandang sebelah mata jika melihat kekurangan pada diri seseorang
ReplyDeleteWaaah mak, mata saya basah baca ini :'(
ReplyDeleteDiam-diam menghanyutkan ya..
Iya, Mak. Bener :)
DeleteKeren...bagus fit ceritanya, setiap orang pasti punya kekurangan dan kelebihan :)
ReplyDeleteMakasih udah mampir, Ko
Delete