Sunday, March 29, 2015

Mengapa Menulis Untuk Anak-anak?

Tante, yang nulis novel Pesan Misterius ya? Ceritanya bagus, Tante. Aku sukaaa. Kok Tante mau terus buat cerita anak sih? Padahal, aku saja yang mulai remaja sudah nggak sreg nulis naskah anak-anak. -inbox dari seorang penulis cilik yang beranjak remaja

Cover buku yang dibicarakan si penulis cilik itu. Silakan dibeli. :) *promo terselubung
Kenapa saya menulis cerita anak-anak?
Pertanyaan ini sederhana, tapi sukses membuat saya merenung seharian. Saya akui, saya pernah mencoba menulis hampir segala jenis naskah. Novel remaja, buku parenting, buku kesehatan, artikel wisata, feature, cerpen anak, dan masih banyak lagi yang lainnya. Balik-baliknya, saya rindu menulis untuk anak-anak. 

Jadi, kalau ditanya, dari sekian banyak jenis naskah yang sudah pernah saya tulis, mana yang paling saya sukai? Jawabnya, menulis naskah untuk anak-anak. Entah itu cerpen, novel, nonfiksi, kumcer, maupun komik. Yang jelas sasaran pembacanya adalah anak-anak.

Mari flash back sedikit ke beberapa tahun ke belakang. Naskah pertama saya yang dimuat di media berupa cerpen anak. Waktu itu, naskah saya dimuat di Suara Merdeka, sebuah harian lokal Semarang. Honornya tidak seberapa. Tapi girangnya bukan main. 

Lalu ketika anak sulung saya lahir, saya mulai memberanikan diri menulis cerpen anak untuk media lain. Saya rajin mengirimkan naskah ke Bravo, Mombi, Bobo, Kompas Anak, dan Girls. Alhamdulillah, banyak yang dimuat. Walaupun untuk menembus Kompas Anak dan Bobo menurut saya perlu perjuangan ekstra. Nggak terhitung naskah saya yang dikembalikan dengan berbagai alasan. Saya masih menyimpan surat-surat pengembalian naskah dari Kompas Anak. Sedangkan Bobo, tidak pernah mengirimkan balasan.

Walau penuh perjuangan *usap peluh, waktu itu saya merasa bahagia menulis cerpen untuk anak-anak. Alasannya sederhana, setiap kali cerpen saya dimuat, si sulung dengan bersemangat minta dibacakan cerita itu. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Apresiasi ini menumbuhkan semangat saya.

Beberapa surat "penolakan" yang saya terima
Tak puas mengirim ke media, saya mulai melirik media lain yaitu buku. Ini juga tidakmudah. Beberapa penerbit yang saya kirimi naskah sering menolak saya. Ada yang memberikan alasan, ada juga yang tidak. Ada juga yang tidak memberikan kabar. Hiks. Sakit hati? Tentu. Tapi penolakan tidak membuat saya menyerah. Kalau mau tahu kenapa saya segitu ngototnya mengirim ke majalah adalah karena saya berpikir naskah dalam bentuk buku akan disimpan lebih lama oleh anak-anak saya dan pembaca lainnya.

Sekarang, saya masih terus menulis naskah untuk anak-anak. Tidak semua naskah yang saya kirim diterbitkan. Tapi, yang membuat saya tidak habis pikir, penerbit yang dulu sering menolak naskah saya, sekarang justru memesan naskah ke saya. Alhamdulillah. Saya pernah dengan bercanda bilang pada editor yang memesan naskah, "Mbak, tahu nggak? Dulu saya berkali-kali kirim naskah ke penerbit ini selalu ditolak, lho." Dan kami ketawa bareng mengenangnya. 

Oke, back to topic. Jadi apa alasan saya menulis untuk anak-anak. Seperti yang sudah saya tulis di atas, alasan pertama adalah karena anak-anak saya, merekalah motivasi terbesar saya. Mereka butuh bacaan dan kalau saya bisa menulis untuk mereka, kenapa tidak? 

Alasan lain, tentu saja passion. Saya suka sekali menulis untuk anak-anak. Saking sukanya, saya tak merasa sedang bekerja saat mengerjakannya. Sekali-sekali pernahlah merasa jenuh menulis, tapi ujung-ujungnya kembali kangen hehehe. Saya rasa inilah yang disebut passion. Bagaimanapun kita berusaha menjauhi bidang yang menjadi passion kita, tetap saja kita tak bisa meninggalkannya. Karena passion itu berarti melakukan yang kita sukai, dan menyukai yang kita lakukan. Do what you love, love what you do, begitu kata orang (entah siapa yang ngomong karena saya nggak menemukan jadi nggak saya cantumin sumbernya. yang jelas bukan saya yang ngomong. *penting banget ya dijelaskan hihi).

Pernah beberapa kali saya merasa sangat menderita ketika ingin sekali duduk manis untuk menulis cerita anak tetapi hari itu malah harus mengerjakan sesuatu yang lain. Hari itu, saya seperti kehilangan sesuatu. Mungkin benar kata Bill Butler (cinematographer) bahwa "Passion is oxygen of the soul". Passion-lah yang mengisi jiwa kita. Dan karena ini passion saya, saya akan terus menulis untuk anak-anak walaupun tentu saja, sesekali masih menulis untuk segmen lain.






14 comments :

  1. Jadi berjiwa muda terus ya De Fita :)

    ReplyDelete
  2. saya juga tahunya mbak Fita itu penulis buku anak-anak :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mungkin itu yang dibilang spesialisasi ya, Mbak. Saya juga nulis yang lain-lain tapi kebanyakan memang untuk anak-anak. Saya juga tahunya Mbak Leyla Hana novelis :)

      Delete
  3. tapi dirimu penulis serba bisa m(b)ak Fita...keren banget.. bisa melompat antar genre... dan tulisan non fiksinya sering menang pula...ternyata kuncinya menulis dari hati

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kadang pingin coba-coba, Mbak Ade. Penasaran pingin tahu bisa nggak. Tapi balik-balik lagi ke cerita anak. :)

      Delete
  4. salut dengan dirimu mak...menulis untuk anak juga gak mudah kan, banyak pesan yang kudu diselipkan....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Awalnya nggak mudah, Mak. Aku juga masih terus belajar kok. :)

      Delete
  5. Mak Fita memang produktif banget untuk menulis cerita anak :)

    ReplyDelete
  6. Aku iri dengan dirimu mbak.. Bisa nulis buat anak-anak. Aku belajar tapi gak dapet dapet feelnya. Mungkin bukan ke sana kali yaa :(

    ReplyDelete
  7. Fita mah serba bisa...tapi memang yang paling menonjol cerita anak ya fit..go go...jadikan branding mu say...

    ReplyDelete
  8. Fita kereenn, ajarin dong nulis cerita anak. Aku baru sekali nyoba kirim cernak ke kompas dan sdh terima surat cintanya, ditolak hehe :)

    ReplyDelete
  9. saya baru belajar menulis cerita naka-anak mbak. mbak kata-katanya saya kutip ya "Passion is oxygen of the soul"

    ReplyDelete