Dari Paris, perjalanan kami
berlanjut ke Venezia. Kami menggunakan kereta Thello yang berangkat dari Gare
de Lyon Paris pada pukul 19.59 (nanggung amat ya jamnya hehehe) dan perkiraan
sampai pada pukul 09.35 keesokan harinya
di St. Lucia Venezia. Kali ini, kami bermalam di kereta, sehingga tidak booking
hotel. Rencananya, kami langsung berangkat ke tujuan berikutnya yaitu Vienna
setelah berjalan-jalan seharian di Venezia.
Kami memesan seat yang berada di
kompartemen. Di dalam kompartemen tersebut bisa diisi oleh 4 orang. Seat-nya
bisa dipakai tidur. Ada dua di bawah dan dua di atas. Tadinya, saya mau tidur
di atas, tapi ternyata saya malah cemas, takut jatuh *tepok jidat. Akhirnya
saya pindah ke bawah. Untunglah, penumpang lain di dalam kompartemen kami mau
bertukar tempat. Selain kami berdua ada dua orang lain di dalam kompartemen.
Seorang lelaki India dan nenek-nenek yang turun beberapa menit sebelum St.
Lucia. Si nenek-nenek ini tergolong cerewet walau logatnya rada susah saya
pahami.
Kompartemen memiliki pintu yang
bisa dikunci. Nah, si nenek inilah yang rajin membuka dan mengunci pintu. Bahkan,
saat saya ke kamar mandi dan rada bingung dengan posisi kamar mandinya, beliau
mengikuti saya lalu menunjukkan arah yang benar. Alhamdulillah, jadi merasa
aman, deh.
Yang bikin deg-degan nih, petugas
kereta datang dan meminta paspor kami. “I will give back your passport
tomorrow, an hour before St Lucia.” Nah, lo. Gimana ceritanya paspor kok dibawa
orang lain? Kalau hilang bagaimana? Kalau nggak balik bagaimana? Sebenarnya
sih, kami sudah membaca tentang kemungkinan ini di sebuah blog. Alasan yang dikemukakan petugas kereta karena
tidak mau membangunkan penumpang berulang-ulang. Soalnya, kereta akan melewati
beberapa kali perbatasan, jadi pastinya akan beberapa kali diperiksa paspor.
Tapi tetap saja, dagdigdug berlanjut. Paspor itu identitas kami gitu lho.
Alhamdulillah, paspor dikembalikan tepat waktu.
Setelah bermalam di kereta (dan
sempat terbangun beberapa kali, takjub melihat pegunungan es di luar jendela
hahaha, maklum baru pertama kali lihat), paginya kami tiba di St. Lucia.
Seperti yang kami rencanakan, koper kecil dan backpack besar kami titipkan di
penitipan di stasiun tersebut supaya kami lebih bebas berjalan.
Depan Stasiun St. Lucia |
Begitu keluar, langsung saja
angin menyerbu. Brrr… dingin! Sarung tangan, topi dan jaket kami rapatkan.
Selama perjalanan tetap saya ingat pesan Mak Indah, “Hati-hati, copet.”
Jadilah, tas selempang tetap saya taruh di depan badan. Passpor dan uang di
dalam dompet yang saya simpan di balik sweater. Demikian juga suami.
Di depan stasiun tampak kanal
besar yang dipenuhi gondola dan bis air. Kami berencana berjalan dulu. Kalau
capek, baru pulangnya naik bis air. Naik gondola sih terdengar romantis. Tapi
nggak romantis lagi kalau setelahnya mesti bayar 80 Euro (hitung sendiri ya
dengan kurs 1 Euro setara Rp 15.400, saat itu) *pingsan. Untuk night tour
tarifnya 100 Euro. Pokoknya, di Venezia semua serba air.
Kami pun berjalan menyeberangi
jembatan. Saya sendiri sebenarnya tidak terlalu suka wisata air, tapi Venezia
yang cantik rupanya bisa memesona saya. Pasalnya, bangunan kuno, air, dan
gondola tampak menjadi kombinasi yang menarik saat diabadikan. Ngomong-ngomong,
untung saja saya bersama suami. Kalau tidak, sudah pasti saya tersesat. Semua
gang di Venezia tampat serupa meski ada papan petunjuknya.
Tempat yang menjadi tujuan kami
tidak terlalu banyak. Kami mengikuti panduan dari blog para pelancong dan
buku-buku travelling. Piazza San Marco, Rialto Bridge and Market, Gereja St.
Marks Basilica, dan jalan-jalan saja kemana kaki melangkah deh.
Buah-buahan dan sayur di pasar. Segar ya. |
Jalan-jalan di Venezia,
menyerupai gang senggol. Jalannya kecil dan jarak antar bangunan mepet. Di
sepanjang jalan-jalan kecil itu, terutama di Marcerie Street banyak toko-toko
yang menjual souvenir seperti gantungan kunci, magnet kulkas, topeng, kaos dan
sebagainya. Kami hanya membeli sedikit magnet dan gantungan kunci, untuk
meringankan bawaan. Selain toko souvenir banyak juga lho butik-butik mewah. Nah,
kalau mau beli oleh-oleh yang terjangkau di sini, belilah make up bermerek Kiko
Milano. Kalau mau beli yang sedikit lebih mahal, produk tas dan dompet kulit
juga bisa menjadi pilihan buah tangan.
Saya kira, di sini saya nggak
akan menemukan orang-orang membawa tongsis selain wisatawan. Ternyata dugaan
saya salah. Malahan banyak penjaja tongsis yang menawarkan selfie stick (kata
mereka). Wah, ternyata tongsis sudah mendunia!
Setelah melewati gereja dan
Rialto Bridge, kami tiba di Piazza San Marco. Piazza San Marco ini semacam
alun-alun yang dikelilingi banyak bangunan tua. Waktu kami datang, matahari
sedang bersinar sehingga sinarnya membentuk siluet cantik saat saya memotret.
Selain banyak orang (pastinya), di tempat ini juga burung merpati terbang.
Beberapa wisatawan sengaja memberi makan mereka supaya saat difoto tampak
menarik. Saya bilang pada suami, supaya berhati-hati kalau kena kotoran burung
itu, bisa bahaya nanti hehehe.
Piazza San Marco |
Sambil jalan, kami mencoba
mencari resto yang menyediakan makanan halal. Tentu saja, saya juga mencoba gelatto
yang hmm… enak! Eh, di jalan kami menemukan Vin Brulle yang sempat dikatakan
Wim sebagai hot wine. Entah seperti apa penampakannya, yang jelas banyak deh di
sana. Pencarian resto berakhir di sebuah resto kecil yang cukup nyaman. Kami
memesan vegetable pizza dan sup krim ayam. Sengaja kami masuk resto supaya bisa
numpang ke kamar kecil. Di toilet umum mesti bayar soalnya hehehe.
Setelah makan, kami berjalan
lagi. Kalau dihitung-hitung total perjalanan kami mungkin mencapai 4,5 km hari itu. Ya lumayanlah, itung-itung
olahraga. Menjelang sore, semua obyek sudah dilihat, kami memutuskan
leyeh-leyeh menikmati matahari tenggelam. Tadinyakami duduk-duduk di taman,
tapi berhubung anginnya kencang, kami memutuskan ke stasiun saja. Ternyata, di
stasiun pun masih dingin. Jadilah kami masuk ke kafe untuk minum cokelat hangat
sambil menunggu kereta kami yang berangkat pukul 19.51 dari St. Lucia.
Alhamdulillah, puas jalan-jalan ke Venezia, kota air yang berliku-liku gangnya
ini. [Fita Chakra]
Kafe-kafe di lorong |
Aku ketinggalan updating... Mak Fita Chakra keliling Eropa dah nyampr ke Venezia... Keren abis... Postingannya juga keren ..ketika membacanya srolah dirikupun mengikuti perjalananmu Mak..hehe..
ReplyDeleteMak Rita, makasih, Mak. :) Masih ada dua kota lagi belum ditulis. Mudah-mudahan nggak bosen mampir ke sini ya :)
DeleteWaahhh rawan copet jugaaa yaa. Aku pikir negara2 eropa tuh aman, ternyata dimana2 tetap perlu waspada
ReplyDeleteIya, Mak. Katanya sih begitu. Alhamdulillah di sini lancar. :)
DeleteWah asyikk..venice memang nice
ReplyDeleteIya, Mak. Cantiknya beda sama kota-kota sebelumnya yang aku ceritakan di blog. :)
DeleteSenang klu udh baca cerita perjalanan. Seolah-olah sy jg disana.
ReplyDeleteDi tunggh cerita perjalanan berikutnya ya mak... (:
Insya Allah, Mak. Mudah-mudahan bisa segera menyusul nih tulisan berikutnya :)
Deleteasyik banget...
ReplyDeleteudah part 8 aja, saya ketinggalan :D
Makasih sudah mampir, Mbak. :)
DeleteAku beli buah di pasar juga. Kadang di tukang sayur kalo nggak sempat ke pasar. Hematnya banyak. Hemat di ongkos dan di harga. :D *emak2 matre*
ReplyDeleteAku beli buah di pasar juga. Kadang di tukang sayur kalo nggak sempat ke pasar. Hematnya banyak. Hemat di ongkos dan di harga. :D *emak2 matre*
ReplyDeleteCerita dan foto-fotonya bagus mbak :)
ReplyDeleteSalam kenal ya :)
serunya ya mba..dah sampai part 8 saya bacanya..
ReplyDeleteKami dua minggu yang lalu sempat mampir ke Venezie juga mbak Fit. :) Ada genangan air banyak di San Marco, jadi untuk turis2 disediakan seperti jembatan penyeberangan gitu. Btw kami juga ke resto beli kopi dan teh, biar bisa sekalian ke kamar kecil :D
ReplyDeleteNgirit yo, Dek hahaha.Lagi dingin nggak di Venice?
Delete