Cerpen ini menjadi Karya Favorit dalam Lomba Menulis Cerpen Remaja Lip-Ice Selsun 2009. Idenya, berasal dari sebuah buku yang pernah saya baca sebulumnya, tentang seorang remaja yang mati-matian berdiet supaya tampil lebih langsing. Sebenarnya cerita yang saya baca itu sedikit kocak. Tapi saya menulis cerpen ini dari sudut pandang yang berbeda. Jadi kesannya gloomy.
Cermin, Aku dan Ibuku
Ibu,
betapa aku ingin sekali membahagiakanmu.
Aku ingin melihatmu
tersenyum, dengan ujung bibir yang melengkung sempurna. Bukan senyum yang
dipaksakan. Tetapi senyum yang tulus, benar-benar nyata dari dalam hati.
Aku
rindu senyummu itu, Ibu.
Entah sudah berapa lama
aku tak melihatmu tersenyum seperti yang kuinginkan. Hari ini, aku akan mencoba
sebaik mungkin, agar aku bisa membuatmu bangga. Kebanggaan yang membuat
senyuman terlukis di bibir merah jambumu.
Pagi ini, puluhan kali sudah
aku mematut diri di depan cermin. Bayangan tubuhku terlihat jelas di dalamnya.
Sesosok gadis berusia tujuh belas tahun yang berparas jelita tanpa cela.
Orang-orang bilang aku cantik rupawan. Kulitku putih bersih menurun dari kulit
ayah yang berkebangsaan Belanda. Hidungku mancung, tanpa harus melakukan
operasi plastik. Rambutku kecoklatan bergelombang alami. Dan tubuhku termasuk
tinggi untuk ukuran gadis seusiaku. Kakiku panjang bak peragawati.
Tapi
apa yang kumiliki tidak juga membuatku bersyukur. Aku bahkan merasa Tuhan tidak
menyayangiku. Lihat saja, badanku gemuk sekali! Aku tidak suka itu. Aku terlalu
gemuk hingga gaun yang dibelikan ibu tak cukup kupakai.
Aku
menghela napas panjang, berusaha menghapus aroma kebencianku pada badanku.
Gagal. Aroma kebencian kian kuat merasuk masuk melalui hidungku, lalu
menjelajah ke dalam tubuh melalui kerongkongan. Karenanya, aku justru merasa
semakin benci pada badanku yang menggelambir di sana-sini. Aku benci pada
timbunan lemak yang semakin hari semakin bertambah meski aku tak
menginginkannya. Karena lemak itu, paha dan lenganku jadi kelihatan seperti
guling baru yang biasa dipakai Kyra, adikku. Besar dan empuk.
Semakin
lama aku menatap bayangan tubuhku di dalam cermin aku menjadi semakin muak. Isi
perutku seperti diaduk-aduk, mual sekali. Sambil menahan rasa mual di dalam
perut aku berpikir keras, bagaimana caranya agar aku bisa mengeluarkan
buntalan-buntalan lemak dalam tubuhku.
Aku
memaki bayangan tubuhku di cermin itu. Kulontarkan kata-kata kasar. Tapi tetap
saja bayangan di dalam cermin itu tak berubah menjadi lebih baik. Hanya sesosok
gadis bertubuh gemuk yang nampak olehku. Aku berteriak. Aku mencaci lebih keji.
Namun, bayangan yang kuharapkan tak kunjung datang. Dia diam tak bergeming.
Aku
pun murka!
Cermin
sialan! Kenapa kau harus memperlihatkan tubuhku yang gemuk ini?
PRAANG…!!
Kulemparkan
sepatuku pada cermin itu hingga dia pecah berkeping-keping membentuk
potongan-potongan kecil tak beraturan bentuk.
Aku
puas.
Untuk sesaat.
*
Aku
berusaha bergaya mengikuti arahan fotografer itu. Kepalaku pening, tapi kucoba
memfokuskan konsentrasiku pada perkataannya.
“Agak
miring ke kiri, Sya… Dagu turun sedikit. Nah, begitu sudah bagus, tahan
sebentar,” perintahnya sambil buru-buru menekan tombol di kameranya.
Aku
mendesah perlahan. Menahan rasa sakit yang mendera kepalaku. Keringat dingin
membasahi sekujur tubuhku dan aku gemetar. Sepertinya tubuhku seperti tidak
bisa diajak kompromi. Kulihat ibu duduk di dekat fotografer itu, memusatkan perhatiannya
padaku. Matanya menatapku sunguh-sungguh, seakan khawatir jika aku berbuat
salah hingga mengacaukan pemotretan ini.
“Duh,
konsentrasi, Sya! Pandangannya jangan kosong begitu!” bentak fotografer itu
mulai tak sabar. Rasanya sudah berjam-jam sesi pemotretan ini berjalan tapi
tidak juga kunjung selesai. Aku sendiri sudah merasa tak sabar.
Ibu
sontak berdiri, membisikkan sesuatu pada fotografer lalu berkata padaku
setengah berteriak, “Meisya, istirahat dulu, Sayang.” Rupanya Ibu meminta break pada fotografer.
Ibu, apakah engkau
mengkhawatirkan keadaanku?
Ibu menyuruhku minum
segelas air dingin yang dibawakannya entah darimana. Kami duduk berhadapanan,
saling memandang satu sama lain.
“Kalau
kau tidak berkonsentrasi penuh, sesi pemotretan ini tidak akan pernah selesai,
Meisya,” kata Ibu datar.
Aku
mengangguk setuju, tapi sejurus kemudian aku berkata, “Tapi, Bu… Kepalaku
pusing, rasanya aku tak enak badan.”
“Meisya!
Selesaikan tugasmu dulu, baru kamu bisa beristirahat,” Ibu mendesis pelan.
Lembut tapi penuh penekanan. Ciri khas Ibu. Aku tahu itu berarti aku tidak bisa
membantahnya. Aku harus melakukan apa yang dikatakannya, agar Ibu tidak kecewa.
“Mengerti?”
tegas Ibu lagi.
Aku
mengangguk kaku.
*
Ibu,
aku berusaha memahami mengapa engkau berbuat seperti itu padaku.
Aku tahu bagaimana
susahnya mencari uang untuk menjalankan kehidupan kami bertiga. Aku, Kyra, dan
Ibu. Ayah menghilang entah kemana sejak Kyra masih dalam kandungan. Aku
mengerti bahwa kami sangat kekurangan. Makan, sekolah, tempat tinggal, semuanya
butuh uang. Dan mungkin, bagimu kebahagiaan juga harus dibeli dengan uang.
Kata
Ibu, “Kalau kamu mau menjadi model, kita bisa mendapatkan uang yang cukup untuk
kehidupan kita. Kalau berkecukupan, kamu bisa pergi berjalan-jalan ke manapun kau
mau, bergaul dengan teman-teman yang menghargaimu, bukan teman yang
menyepelekanmu seperti sekarang,”
Maka,
aku tanamkan dalam benakku untuk menjadi seorang model. Aku berjuang
mati-matian mengikuti berbagai casting.
Bahkan pulang hingga dini hari aku jalani. Demi Ibu dan Kyra. Demi kehidupan
kami. Demi aku juga. Karena aku ingin dianggap oleh teman-temanku. Aku tidak
mau terus-terusan mendengar cemoohan mereka.
“Huh,
memangnya kamu siapa mau berteman dengan kita?” begitu kata salah seorang teman
sekolahku. Pedih rasanya mendengarnya. Bukankah bagi seorang remaja teman dan
lingkungan pergaulan itu penting? Sayangnya, aku tak pernah merasa dianggap
diantara teman-teman.
Ibu
membuatku mau merubah diri mati-matian demi menjadi model. Memang aku harus
bekerja keras, tapi imbalan yang kudapatkan pun setimpal. Uang, ketenaran, dan
pengakuan dari teman-temanku.
Aku
bahagia bisa menyenangkan Ibu dan Kyra. Aku bisa membeli sebuah rumah yang
megah. Membelikan mainan mahal untuk Kyra. Menghadiahkan sebuah tas bermerek
yang telah lama diidam-idamkan Ibu di hari ulang tahunnya. Semuanya dengan uang
hasil jerih payahku. Aku bahagia melihat orang-orang yang kucintai merasa
bahagia.
Tapi
lama kelamaan, aku merasa Ibu mulai berubah. Semakin hari Ibu makin menekanku
dengan membebaniku dengan berbagai pekerjaan.
“Meisya,
kamu harus ikut casting iklan shampoo itu. Honornya pasti banyak. Ibu
yakin kamu bisa.”
“Jangan
terlalu banyak mengeluh, uang tidak datang seketika. Kau harus banyak-banyak
jalan di catwalk kalau mau punya
banyak uang.”
“Ayo,
Meisya kamu punya janji pemotretan hari ini. Ada dua pemotretan, malamnya kamu
sudah ditunggu untuk syuting iklan.”
“Ibu
sudah bilang iya, kamu harus datang kesana. Kalau tidak nanti mereka tidak mau
membayarmu. Ingat kamu kan sudah teken kontrak!”
Uang.
Uang. Lagi-lagi karena uang!
Aku
mulai kesal pada Ibu. Tapi aku tak bisa menolaknya karena aku paham bagaimana
rasanya tidak punya uang.
*
Cermin, katakan apakah aku kelihatan cantik?
Tidak. Kau tidak kelihatan cantik. Kau gemuk.
Tubuhmu semakin hari makin besar. Seperti balon yang ditiup perlahan-lahan.
Menggelembung… menggelembung… dan siap meletus.
Begitu
kata cermin.
Cermin
selalu mengatakan yang sesungguhnya.
Aku
meyakini hal itu. Bayangan yang ada di dalam cermin itu pastilah bayanganku
yang sesungguhnya. Aku gemuk. Itulah yang terlihat disana. Aku jadi benci
sekali pada cermin. Entah sudah berapa kali aku pecahkan cermin di rumah ini.
Tapi, meski benci aku selalu ingin berkaca. Memastikan bahwa diriku tak kurang
suatu apa. Tidak kurang cantik, tidak kurang menawan dan tidak gemuk!
Huh!
Tapi tetap saja aku kelihatan gemuk. Bahkan semakin hari aku semakin gemuk.
“Coba
diet, Sya. Model harus berperawakan tinggi langsing. Kalau tidak kurus nanti
tidak ada yang mau pakai kamu jadi model lagi,” saran Ibu.
Tanpa
Ibu bilang pun aku sudah tahu. Aku pun berdiet mati-matian. Ibu bilang pakaian
yang dibelikannya harus bisa kupakai.
Harus.
Kata
yang wajib aku patuhi. Tak perlu aku tanyakan mengapa. Aku sudah tahu
alasannya.
Karena
aku model. Model harus kurus. Model harus menarik agar bisa mendapatkan banyak
pekerjaan. Banyak pekerjaan berarti banyak uang. Banyak uang bisa membahagiakan
Ibu dan Kyra. Semua alasan itu seperti lingkaran setan yang tak ada putusnya.
Berputar-putar mengelilingiku setiap saat.
Lalu
bagaimana denganku? Apakah aku bahagia atau tidak? Tidak ada yang mempedulikan
perasaanku. Kyra masih terlalu kecil untuk mengerti. Dia baru berusia lima
tahun. Apalagi Ibu? Ibu hanya peduli pada penghasilanku. Berapa aku dibayar
untuk melakukan pekerjaanku. Ibu hanya peduli pada kesehatanku karena jika aku
sakit maka tidak akan ada yang menghasilkan uang untuk kami.
Ibu
tak peduli pada perasaanku. Ibu tak tahu bahwa aku sering merasa kecapekan
bekerja seharian. Ibu tak mengerti bagaimana aku merindukan kebebasan berjalan
kemanapun aku pergi tanpa harus ada fans yang mengikutiku. Ibu tak paham bahwa
aku sering merasa jenuh dengan rutinitas ini.
Aku
memandang cermin di hadapanku. Cermin baru yang pagi tadi dipasang Ibu. Melihat
sosok tubuh gemukku aku jadi mual. Perutku meronta-ronta bergejolak dan terasa
melilit, ingin mengeluarkan cairan yang pahit. Aku terlalu banyak makan tadi
pagi, keluhku dalam hati. Padahal aku seharusnya mengurangi porsi makanku. Aku
menjadi merasa bersalah karena telah makan banyak. Tanpa kusadari, kemudian aku
melakukan sesuatu yang akhirnya nanti kulakukan terus menerus.
Jari-jariku
bergerak masuk ke dalam mulut dengan lincah. Merogoh lebih dalam ke ujung lidah
hingga hampir masuk ke kerongkongan. Cairan pahit di dalam perutku mulai naik
perlahan tapi pasti. Sebentar lagi makanan yang tadi pagi aku makan akan
keluar, pikirku. Mataku melotot saat cairan itu sampai di ujung lidah.
Aku
berlari ke kamar mandi memuntahkan semua isi perutku ke dalam kloset. Aku
menangis kesakitan. Berpeluh di sekujur tubuh. Telapak tanganku sedingin es.
Tubuhku terasa lemas, terasa ringan. Pasti karena semua makanan yang ada di
dalam perutku sudah keluar. Sebentar lagi aku bisa kurus jika tidak makan
berlebihan. Dan aku akan selalu mengeluarkan makanan-makanan yang membuat
tubuhku semakin berlemak itu.
Aku
membaringkan tubuhku ke lantai. Rasanya seperti tak bertenaga. Tapi aku
tertawa. Senang. Setidaknya sekarang aku tahu, bagaimana cara mengeluarkan
lemak-lemak dari dalam tubuhku.
Memuntahkannya. Itu
saja.
*
Ibuku
tersayang,
Aku
tidak habis pikir mengapa engkau seperti tidak ada puasnya mencelaku. Aku
kurang begini. Aku kurang begitu. Dan yang paling sering engkau ucapkan adalah
uang yang kuhasilkan kurang banyak sementara kebutuhan kami semakin banyak.
Kepercayaan diriku merosot tajam seiring kecaman Ibu. Aku tak lagi gadis tujuh
belas tahun yang ceria dan bersemangat menjalani hari-hariku. Aku menjelma
menjadi seorang yang pemurung dan pemberang. Tekanan hidup yang membuatku
seperti ini. Sekarang aku bahkan tidak hanya memecahkan cermin, tetapi juga
menghindari semua barang yang bisa menghasilkan bayangan tubuhku. Aku semakin
benci melihat bentuk tubuhku.
Aku
harus berjuang lebih keras lagi. Bekerja keras dari pagi hingga dini hari.
Duniaku bukan lagi dunia remaja yang berwarna-warni. Duniaku terasa suram dan
gelap. Aku tak tahu arah. Limbung. Aku tidak bisa memperjuangkan keinginan
diriku sendiri.
Terkadang aku merasa
bagaikan sebuah robot yang bergerak mengikuti perintah pemiliknya. Aku
melakukan sesuatu bukan atas kemauanku sendiri. Jiwa dan ragaku tidak seirama.
Ragaku bergerak mengikuti kemauan Ibu meski jiwaku menolaknya.
Aku
tergugu di malam sepi. Saat seisi orang di rumah ini tidur, aku menangis
kesepian, meratap pada sang nasib. Aku memiliki harta yang berlimpah, tapi
mengapa aku tak bahagia? Aku bertanya berulang-ulang. Namun aku tak jua
menemukan jawabannya.
Malam
semakin dingin. Sepi. Aku yakin Ibu dan Kyra telah tidur, lama sebelum aku tiba
di rumah. Seharian ini aku telah menapakkan kakiku kemana-mana, berusaha
mencari uang dengan mengikuti berbagai casting.
Aku
terduduk dalam diam. Mencerna apa yang terjadi dalam hidupku perlahan-lahan.
Sungguh, aku merasa putus asa tidak bisa menjadi seperti yang diinginkan oleh
Ibu. Kontrakku diputus oleh salah satu produk iklan. Pasti karena aku tidak
sesuai dengan kriteria yang mereka inginkan. Aku terlalu gemuk.
Sedetik
kemudian aku menangis. Lirih. Aku sudah membuat keputusan besar dalam hidupku.
Keputusan yang terbaik untuk diriku. Bukankah setiap orang pantas merasa
bahagia?
CESSS!
Kurasakan
nyeri di urat nadi pergelangan tanganku. Darah mengalir perlahan-lahan dari
sana. Tak lama kemudian aku melihat malaikat maut menjemputku. Meninggalkan
ragaku disana. Membawaku terbang. Tubuhku terasa sangat ringan. Aku melayang
bersama malaikat mautku.
Aku melihat ke bawah.
Dan barulah aku tahu kenyataan yang sesungguhnya.
Seorang gadis yang
pucat tinggi semampai terbaring kaku di bawah sana. Tubuhnya kurus kering seperti
tak pernah makan. Wajahnya kuyu dan sangat tirus hingga pipinya terlihat
cekung.
Itu aku? Aku bertanya
tak percaya. Aku ingin kembali, tapi semuanya sudah terlambat. Tak mengapa. Toh
aku tak bahagia di dunia.
*
Pagi hari yang kelabu.
Aku sedih melihat Ibu
menangis di depan ragaku. Sementara Kyra dengan kepolosannya menanyakanku terus
menerus. Aku tahu Ibu menyesal membuatku menderita. Aku mengerti Ibu merasa
bersalah karena membiarkanku mengalami eating
disorder. Ibu pasti juga merasa berdosa menyalahkanku terus menerus serta
memaksaku memakai pakaian yang selalu lebih kecil dari ukuran tubuhku. Aku
berkorban, agar Ibu sadar hingga tak mengorbankan Kyra, menjadi sepertiku.
Ibu,
jangan bersedih. Aku bahagia disini… Aku sayang kalian. Selamanya.
***
Merinding bacanya mba..
ReplyDeleteWell, pembelajaran buat kita nih para ortu. Berguna jg story nya mba :D
Makasih banyak :) Aku juga masih merinding kalau baca :))
Deleteanorexia dan bulimia :(
ReplyDeleteSangat miris membaca ceritanya
ReplyDelete