Dimuat di Nirmala edisi Agustus 2012 (Versi asli)
Sesekali menikmati
perjalanan ternyata sangat menyenangkan. Hati rasanya tenteram karena tidak
terburu-buru waktu. Menikmati perjalanan juga membuat saya menemukan hal-hal
sederhana yang menyenangkan untuk diamati.
Beberapa waktu lalu, di
tengah kesibukan, saya memutuskan untuk undur diri sejenak dari hiruk pikuk
perkotaan. Asyiknya, perjalanan kali ini tanpa target kapan kami mesti tiba dan
pulang. Sengaja memang, tapi setelah melakukannya sekali saya jadi tahu
perjalanan yang terburu-buru dan tidak membawa hasil yang sangat berbeda.
Jadilah saat itu, saya dan
keluarga sering berhenti sejenak, sekedar melihat-lihat dan mengabadikan
pemandangan melalui kamera kami. Sayang rasanya jika melewatkan suasana ini. Inilah
kisah perjalanan kami ke Dieng, yang serupa surga tempat tinggal para dewa dan
dewi.
Dieng,
Selangkah Lebih Dekat dengan Tuhan
Kawasan
Dieng, yang masuk ke dalam dua wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Banjarnegara
dan Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Wilayah terbesar dataran tinggi Dieng
adalah milik Kabupaten Banjarnegara. Dieng terletak 26 km ke arah utara dari
pusat Kota Wonosobo. Nama Dieng sendiri artinya daerah pegunungan atau dataran
tinggi tempat para dewa dan dewi.
Letaknya yang berada di dekat
Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing membuat kawasan ini terasa sejuk, bahkan
dingin di malam hari. Maklum, suhu rata-rata daerah ini di siag hari sekitar 15
derajat Celcius, sedangkan pada malam hari bisa mencapai 10 derajat Celcius.
Kawasan ini merupakan
dataran paling tinggi di Jawa yang terletak pada ketinggian 2093 meter di atas
permukaan laut. Perpaduan udara sejuk, pemandangan yang indah, dan kehijauan
dimana-mana, sungguh menawan hati. Sedikit penasaran, saya pun jadi ingin tahu
apakah Dieng secantik arti namanya?
Untuk menuju puncak Dieng
diperlukan perjuangan tersendiri karena jalan yang berkelok-kelok naik. Ditambah
dengan pekatnya kabut tentu saja sangat menyulitkan lajunya kendaraan. Laju
mobil yang melambat tidak mengurangi semangat kami.
Syukurlah, semua itu
sebanding dengan apa yang akhirnya kami lihat. Sebuah kawasan hijau yang
menyejukkan mata yang mengelilingi candi-candi terbentang luas di hadapan kami!
Sungguh eksotik! Cocok sekali dengan arti kata “dieng” yang merupakan tempat
para dewa dan dewi.
Sayangnya,
hujan yang turun tiba-tiba memaksa kami untuk tetap berada di dalam kendaraan.
Setelah melewati sebuah gapura besar bertuliskan Dieng Pletau Area, tibalah
kami di sebuah tempat yang luar biasa indahnya. Dan ketika hujan reda, kami tak
sabar segera turun dari mobil, merasakan udara sejuk menyapa kulit. Betapa
berbedanya udara di tempat ini dengan udara yang biasa kami hirup di perkotaan.
Saya menghirup udara dalam-dalam, merasakan rongga dada terisi udara yang
bersih itu.
Kami sempat berhenti di beberapa
candi yang kami lewati saat itu. Menurut penduduk yang saya tanyai ada delapan
candi di kawasan Dieng yaitu Candi Bima, Candi Arjuna, Candi Gatotkaca, Candi
Semar, Candi Srikandi, Candi Sembadra, Candi Dwarawati, dan Candi Puntadewa. Candi-candi
tersebut merupakan candi Hindu yang dibangun sekitar abad ke-7, tersebar di
berbagai tempat di kawasan tersebut.
Deretan candi-candi berlatar
belakang kehijauan itu nampak seperti lukisan di mata saya. Sesaat berdiri di
tengah-tengahnya. Berdiri di undakan candi tersebut sambil memandang ke bawah entah
mengapa membuat saya merasa selangkah lebih dekat dengan Tuhan. Seperti berada
di awang-awang, hanya beberapa meter mendekati langit.
Di
kawasan Dieng yang merupakan wilayah vulkanik banyak kawah-kawah kepundan yang
bisa dijumpai. Beberapa kawah yang terdapat disana antara lain adalah kawah
Sikidang, kawah Candradimuka, dan kawah Sileri. Selain kawah, para pelancong
juga dapat melihat beberapa tempat yang menarik seperti Telaga Warna, Telaga Pengilon,
Telaga Cebong, Sumur Jalatunda, dan lainnya.
Meskipun rasanya ingin
melihat semua tempat yang menarik itu, tetapi karena keterbatasan hujan yang
turun dan berhenti tanpa bisa kami prediksi akhirnya kami putuskan untuk masuk
ke kawasan Telaga Warna saja. Ada baiknya jika Anda ingin berkunjung ke Dieng,
siapkan payung untuk berjaga-jaga jika hujan turun, agar acara jalan-jalan
tidak terganggu.
Telaga Warna adalah sebuah
telaga yang warna airnya dapat berubah-ubah. Menurut keterangan yang saya
peroleh dari petugas di pintu masuk warna air telaga bisa menjadi hijau, merah,
dan biru. Menurut mitos yang berkembang di
masyarakat setempat, konon dahulu ada sebuah cincin milik bangsawan setempat
yang namun terjatuh ke dasar telaga. Cincin itulah yang menyebabkan warna air
telaga berubah-ubah warna.
Namun,
secara ilmiah dapat dijelaskan warna air telaga tersebut berubah karena
berbagai hal. Kandungan belerang di dalam telaga menyebabkan munculnya warna
kehijauan. Ganggang merah yang terdapat di dasar telaga memantulkan cahaya
kemerahan. Lalu, warna kebiruan muncul karena pantulan sinar matahari yang
membiaskan warna-warna indah pada air telaga. Semua hal tersebut berpadu dengan
keadaan cuaca, waktu, dan tempat kita melihatnya.
Sewaktu
kami melihat-lihat, warna air di telaga itu berwarna kehijauan. Telaga ini
nampak seperti telaga yang terbelah menjadi dua karena dipisahkan oleh segaris
tanah membentang di antaranya. Ternyata, dahulu kabarnya telaga ini memang
merupakan satu kesatuan. Namun karena terbendungnya sungai oleh lava maka
telaga terseeut terpisah menjadi dua.
Nah,
selain melihat-lihat pemandangan alam yang indah disana. Kami pun dapat bermain
flying fox melintasi salah satu
pinggir telaga tersebut. Tidak mahal, Anda cukup membayar Rp 10.000,- sekali
jalan. Supaya tidak kerepotan mencari kembalian, apabila datang ke Dieng lebih
baik Anda siapkan uang recehan untuk membayar tiket, membeli topi, atau sekadar
minuman pelepas dahaga.
Di
sekeliling telaga tersebut nampak pepohonan yang rindang dan hijau. Udaranya
yang sejuk membuat kami betah berlama-lama disana. Jalanan di pinggir telaga
menyerupai jogging track, meski tidak
mulus.
Kawasan Dieng juga cukup
terjaga kebersihannya. Terbukti, saat kami tak sengaja menjatuhkan selembar
tissue kotor saat akan masuk ke dalam kendaraan, seorang tukang parkir menegur
kami lalu menunjukkan tulisan “Dilarang Membuang Sampah” yang ada disitu.
Kamipun meminta maaf, lalu memasukkan sampah yang kami jatuhkan tersebut ke
dalam tempat sampah yang tersedia.
Penginapan
Akrab dengan Alam
Usai
berjalan-jalan di Dieng Plateu, perjalanan kami berlanjut. Tirai malam yang
mulai turun menyelimuti hari membuat kami harus segera memutuskan untuk mencari
tempat kami akan bermalam. Beruntung sebelumnya kami sudah memesan tempat
bermalam di sebuah penginapan.
Kurang
lebih setengah jam dari Dieng Plateu Area, kami akhirnya menemukan Agrowisata
Tambi, sebuah perkebunan teh sekaligus pondok wisata tempat kami menginap malam
itu. Tempat penginapannya menyatu dengan alam. Bernuansa kayu dan dikelilingi
banyak pepohonan. Di beberapa bagian nampak jalan-jalan setapak yang nyaman
pagi pejalan kaki.
Sebagian dibangun seperti cottage, sebagian lagi kamar-kamar
kecil. Meskipun sederhana, secara keseluruhan tempatnya nyaman. Layaknya berada
di rumah sendiri saja. Hommy sekali
suasananya.
Malam
itu, tidak ada agenda jalan-jalan. Kami hanya berencana makan malam di restoran
penginapan lalu tidur untuk melepaskan penat setelah seharian berjalan-jalan.
Sekitar pukul 7 malam, kami sekeluarga berjalan menuju restoran penginapan.
Makanan yang disajikan adalah berupa hidangan prasmanan yang dapat kita pilih
sendiri sesuai selera. Jenis makanannya sederhana, tetapi mengingatkan saya
pada makanan rumahan yang dulu disajikan eyang di rumahnya.
Minuman
yang disajikan selain air putih tentu saja ada teh hangat. Teh ini spesial
karena berasal dari perkebunan sendiri. Usai makan malam, saya menyeruput teh
yang disediakan pelan-pelan. Aromanya yang wangi dan hangatnya teh tersebut
membuat tubuh terasa hangat seketika. Nyaman rasanya.
Udara
malam di pegunungan itu terasa semakin dingin. Usai makan malam kami segera
masuk ke kamar untuk beristirahat. Besok, acara jalan-jalan ke perkebunan teh
telah menanti.
Jalan-jalan
ke Kebun Teh
Pagi
harinya, kami sudah siap untuk berjalan-jalan ke kebun teh. Udara sejuk, langit
yang berwarna biru cerah dengan awan-awan putih yang bersih membuat kami
bersemangat. Setelah makan pagi dan menikmati makanan kecil serta teh yang
disediakan, kami dipandu oleh seorang pemandu yang akan memandu perjalanan kami
menyusuri perkebunan teh.
Menurut
pemandunya perkebunan teh Tambi dibangun pada tahun 1865. Perkebunan ini
merupakan salah satu peninggalan perusahaan milik Belanda yang diambil alih
oleh Pemerintah Republik Indonesia setelah kemerdekaan. Letaknya kurang lebih
16 km sebelah utara kota Wonosobo. Perkebunan ini membentang di antara lereng
Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro yang memiliki ketinggian 800-2000 meter di
atas permukaan laut. Suhu rata-rata disini adalah 16-28 derajat C. Hmm… pantas
jika udara disini sungguh sejuk!
Sambil
berjalan menyusuri perkebunan teh kami belajar memetik teh. Daun yang akan
dipetik ternyata bukan sembarang daun. Daun tersebut haruslah merupakan pucuk
daun teh. Terdiri dari beberapa daun selain pucuk terkecil, yaitu tiga daun sesudah
pucuk teratas. Pemetik teh harus melakukannya dengan hati-hati. Dikatakan pula
bahwa pucuk teh merupakan pucuk terbaik. Pucuk teh ini dapat menghasilkan 17
macam teh.
Kami
sempat bertanya-tanya, jika hanya pucuk tanaman saja yang dipetik dan digunakan
lalu bagian lain dari tanaman tersebut dimanfaatkan untuk apa? Menurut pemandu,
bagian tanaman teh yang bawah dibiarkan sebagai daun pemeliharaan. Artinya,
daun-daun tersebutlah yang nantinya akan menyuplai makanan bagi pucuk-pucuk
daun muda hingga mereka terus bertumbuhan.
Kami
juga diajarkan bagaimana cara memetiknya. Wah, ternyata memetik teh pun
memerlukan ketelitian. Jika daun teh yang dipetik salah, maka akan
mengakibatkan kualitasnya kurang bagus. Karenanya, setelah dipetik daun-daun
tersebut pun mengalami proses penyortiran yang cukup teliti. Selain untuk
memisahkan daun yang akan diproses lebih lanjut dan daun yang tak terpakai juga
untuk menghitung upah yang ajkan diberikan pada pekerjanya. Sayangnya, saat
kami datang tidak ada satupun pekerja yang sedang memetik teh karena saat itu
adalah hari Minggu.
Luas
perkebunan teh ini kurang lebih 830 hektar yang terdiri atas tiga unit
perkebunan yaitu Tambi, Bedakah, dan Tanjungsari. Sebagian hitam teh yang
dihasilkan dari perkebunan ini adalah teh hitam yang dipasarkan di luar negeri
dan di pasar lokal. Teh yang berkualitas terbaik banyak diekspor. Mengapa?
Karena selain mahal harganya, ternyata teh tersebut kurang memenuhi selera
masyarakat lokal.
Berjalan
menyusuri perkebunan teh tersebut lumayan melelahkan. Terutama jika tidak
terbiasa berjalan jauh. Tetapi daripada mengeluh, saya memilih menikmati dengan
hati ringan. Dan nyatanya tidak terasa melelahkan karena banyak hal menarik
yang bisa diamati. Justru sebaliknya, dekat dengan alam membuat tubuh seperti
mendapatkan energi baru.
Saya
sempat melepaskan alas kaki, merasakan tanah dan rumput langsung menyentuh
kaki. Udara dingin langsung menerpa kulit telapak kaki saat saya membuka
sepatu. Tapi lama kelamaan ada kehangatan yang pelan-pelan merambat masuk ke
dalam tubuh. Tubuh terasa segar dan berenergi.
Sesaat
saya sempat duduk bersila sambil memejamkan mata, berusaha menyerap energi
positif dan udara segar dari sekeliling saya. Selama beberapa menit saya
merasakan dengan jelas detak jantung, napas, dan tubuh saya. Dan setelah
membuka mata, perasaan saya menjadi lebih baik. Lebih ringan.
Proses
Pembuatan Teh
Setelah
menapaki perkebunan teh, kami diajak masuk ke dalam tempat pengolahan. Pabrik
pengolahan teh dengan perkebunan tidaklah jauh, kami hanya harus menyeberang
jalan saja.
Sebelum
masuk ke dalam pabrik, kami harus melepas sepatu dan menggantinya dengan sandal
jepit. Kami masuk ke ruang pelayuan, dimana pucuk-pucuk teh yang telah disortir
dengan teliti dilayukan selama kurang lebih 16-18 jam dengan suhu 26 derajat C
hingga kadar airnya berkurang sampai 50%. Setiap 6 jam, tumpukan pucuk-pucuk
teh tersebut harus dibalikkan.
Proses
selanjutnya adalah penggilingan. Di lantai terdapat lubang-lubang untuk tempat
penggilingan. Pucuk-pucuk teh tersebut dimasukkan ke dalam lubang untuk
kemudian digiling selama kurang lebih 45 menit. Setelah digiling, teh
dipisahkan menurut kualitasnya
Pucuk daun teh digiling lalu
dikeringkan. Proses pengeringan bertujuan untuk menjadikan daun the bekurang
kadar airnya menjadi hanya 3 persen kadar air. Selama proses ini suhu dijaga
sekitar 95-100 derajat Celcius.
Menurut pemandu kami, warna
seduhan teh hitam bermacam-macam. Ada yang warnanya terang kemerahan, ada pula
yang kecoklatan ataupun kehitaman. Untuk mendapatkan manfaat yang optimal dari
meminum teh, ada semacam ritual minum teh yang disarankannya, yaitu seperti
ritual minum teh di Jepang.
Saat menyeduh teh, lebih
baik gunakan air mendidih daripada merebusnya teh di dalamnya. Lalu teh disajikan
dalam gelas kecil. Sebelum minum, ada baiknya kita menghirup aroma yang keluar
dari uap airnya selama beberapa detik. Lalu minumlah teh tersebut pelan-pelan
sambil menikmati rasanya di lidah dan langit-langit mulut. Dengan demikian,
maka teh berfungsi sebagai aromaterapi lebih terasa manfaatnya.
Hari itu, kami pulang dengan
membawa oleh-oleh teh yang segar dan beraroma wangi. Selain teh, kami juga
sempat mampir ke toko oleh-oleh yang menjual buah tangan khas Dieng. Saya
membawa pulang Carica yang dikemas di dalam toples kaca. Carica yang sekilas
mirip buah pepaya mini ini adalah manisan yang wajib dibeli pengunjung Dieng.
Rasanya manis, kenyal, dan segar.
Tubuh terasa rileks terisi
udara segar dari pegunungan Dieng. Pikiran pun terasa ringan. Saya yakin, esok
paginya, saya siap beraktivitas dengan jiwa dan semangat yang baru.
Nirmala edisi Agustus 2012 |
Syarat pengiriman artikel wisata ke Nirmala:
1. Panjang tulisan 6-8 halaman.
2. Font Arial, spasi 1,5.
3. Foto minimal 8 buah.
4. Wisata dalam atau luar negeri sama-sama punya peluang.
5. Kirim ke Dyah Pratitasari (Prita), e-mail pritazamzam@gmail.com.
Wah, udah lengkap syarat-syaratnya. Makasih infonya ya mbak :)
ReplyDeleteSama-sama. Ayo kirim :)
Deletemakasi ya mbak...infonya sangat detail n tentunya tulisannya kudu dikemas apik,kan mbak ^_^ sukses tyuss ya :)
ReplyDeleteYup. Aamiin, makasih udah mampir :)
DeleteDieng hampir sama dengan lembang ternyata ya.. udara dingin kebun teh... wah mantep.. pengen lagi kesana.. terimakasih sudah mengingatkan kembali... Salam
ReplyDelete