Sunday, September 23, 2012

(Artikel Wisata) Menapaki Dataran Tinggi Dieng


 Dimuat di Nirmala edisi Agustus 2012 (Versi asli) 



Sesekali menikmati perjalanan ternyata sangat menyenangkan. Hati rasanya tenteram karena tidak terburu-buru waktu. Menikmati perjalanan juga membuat saya menemukan hal-hal sederhana yang menyenangkan untuk diamati.
Beberapa waktu lalu, di tengah kesibukan, saya memutuskan untuk undur diri sejenak dari hiruk pikuk perkotaan. Asyiknya, perjalanan kali ini tanpa target kapan kami mesti tiba dan pulang. Sengaja memang, tapi setelah melakukannya sekali saya jadi tahu perjalanan yang terburu-buru dan tidak membawa hasil yang sangat berbeda.
Jadilah saat itu, saya dan keluarga sering berhenti sejenak, sekedar melihat-lihat dan mengabadikan pemandangan melalui kamera kami. Sayang rasanya jika melewatkan suasana ini. Inilah kisah perjalanan kami ke Dieng, yang serupa surga tempat tinggal para dewa dan dewi.
           
Dieng, Selangkah Lebih Dekat dengan Tuhan
            Kawasan Dieng, yang masuk ke dalam dua wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Wilayah terbesar dataran tinggi Dieng adalah milik Kabupaten Banjarnegara. Dieng terletak 26 km ke arah utara dari pusat Kota Wonosobo. Nama Dieng sendiri artinya daerah pegunungan atau dataran tinggi tempat para dewa dan dewi.
Letaknya yang berada di dekat Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing membuat kawasan ini terasa sejuk, bahkan dingin di malam hari. Maklum, suhu rata-rata daerah ini di siag hari sekitar 15 derajat Celcius, sedangkan pada malam hari bisa mencapai 10 derajat Celcius.
Kawasan ini merupakan dataran paling tinggi di Jawa yang terletak pada ketinggian 2093 meter di atas permukaan laut. Perpaduan udara sejuk, pemandangan yang indah, dan kehijauan dimana-mana, sungguh menawan hati. Sedikit penasaran, saya pun jadi ingin tahu apakah Dieng secantik arti namanya?
Untuk menuju puncak Dieng diperlukan perjuangan tersendiri karena jalan yang berkelok-kelok naik. Ditambah dengan pekatnya kabut tentu saja sangat menyulitkan lajunya kendaraan. Laju mobil yang melambat tidak mengurangi semangat kami.
Syukurlah, semua itu sebanding dengan apa yang akhirnya kami lihat. Sebuah kawasan hijau yang menyejukkan mata yang mengelilingi candi-candi terbentang luas di hadapan kami! Sungguh eksotik! Cocok sekali dengan arti kata “dieng” yang merupakan tempat para dewa dan dewi.
            Sayangnya, hujan yang turun tiba-tiba memaksa kami untuk tetap berada di dalam kendaraan. Setelah melewati sebuah gapura besar bertuliskan Dieng Pletau Area, tibalah kami di sebuah tempat yang luar biasa indahnya. Dan ketika hujan reda, kami tak sabar segera turun dari mobil, merasakan udara sejuk menyapa kulit. Betapa berbedanya udara di tempat ini dengan udara yang biasa kami hirup di perkotaan. Saya menghirup udara dalam-dalam, merasakan rongga dada terisi udara yang bersih itu.
Kami sempat berhenti di beberapa candi yang kami lewati saat itu. Menurut penduduk yang saya tanyai ada delapan candi di kawasan Dieng yaitu Candi Bima, Candi Arjuna, Candi Gatotkaca, Candi Semar, Candi Srikandi, Candi Sembadra, Candi Dwarawati, dan Candi Puntadewa. Candi-candi tersebut merupakan candi Hindu yang dibangun sekitar abad ke-7, tersebar di berbagai tempat di kawasan tersebut.
Deretan candi-candi berlatar belakang kehijauan itu nampak seperti lukisan di mata saya. Sesaat berdiri di tengah-tengahnya. Berdiri di undakan candi tersebut sambil memandang ke bawah entah mengapa membuat saya merasa selangkah lebih dekat dengan Tuhan. Seperti berada di awang-awang, hanya beberapa meter mendekati langit.
            Di kawasan Dieng yang merupakan wilayah vulkanik banyak kawah-kawah kepundan yang bisa dijumpai. Beberapa kawah yang terdapat disana antara lain adalah kawah Sikidang, kawah Candradimuka, dan kawah Sileri. Selain kawah, para pelancong juga dapat melihat beberapa tempat yang menarik seperti Telaga Warna, Telaga Pengilon, Telaga Cebong, Sumur Jalatunda, dan lainnya.
Meskipun rasanya ingin melihat semua tempat yang menarik itu, tetapi karena keterbatasan hujan yang turun dan berhenti tanpa bisa kami prediksi akhirnya kami putuskan untuk masuk ke kawasan Telaga Warna saja. Ada baiknya jika Anda ingin berkunjung ke Dieng, siapkan payung untuk berjaga-jaga jika hujan turun, agar acara jalan-jalan tidak terganggu.
Telaga Warna adalah sebuah telaga yang warna airnya dapat berubah-ubah. Menurut keterangan yang saya peroleh dari petugas di pintu masuk warna air telaga bisa menjadi hijau, merah, dan biru. Menurut mitos yang berkembang di masyarakat setempat, konon dahulu ada sebuah cincin milik bangsawan setempat yang namun terjatuh ke dasar telaga. Cincin itulah yang menyebabkan warna air telaga berubah-ubah warna.
Namun, secara ilmiah dapat dijelaskan warna air telaga tersebut berubah karena berbagai hal. Kandungan belerang di dalam telaga menyebabkan munculnya warna kehijauan. Ganggang merah yang terdapat di dasar telaga memantulkan cahaya kemerahan. Lalu, warna kebiruan muncul karena pantulan sinar matahari yang membiaskan warna-warna indah pada air telaga. Semua hal tersebut berpadu dengan keadaan cuaca, waktu, dan tempat kita melihatnya.
Sewaktu kami melihat-lihat, warna air di telaga itu berwarna kehijauan. Telaga ini nampak seperti telaga yang terbelah menjadi dua karena dipisahkan oleh segaris tanah membentang di antaranya. Ternyata, dahulu kabarnya telaga ini memang merupakan satu kesatuan. Namun karena terbendungnya sungai oleh lava maka telaga terseeut terpisah menjadi dua.
            Nah, selain melihat-lihat pemandangan alam yang indah disana. Kami pun dapat bermain flying fox melintasi salah satu pinggir telaga tersebut. Tidak mahal, Anda cukup membayar Rp 10.000,- sekali jalan. Supaya tidak kerepotan mencari kembalian, apabila datang ke Dieng lebih baik Anda siapkan uang recehan untuk membayar tiket, membeli topi, atau sekadar minuman pelepas dahaga.
            Di sekeliling telaga tersebut nampak pepohonan yang rindang dan hijau. Udaranya yang sejuk membuat kami betah berlama-lama disana. Jalanan di pinggir telaga menyerupai jogging track, meski tidak mulus.
Kawasan Dieng juga cukup terjaga kebersihannya. Terbukti, saat kami tak sengaja menjatuhkan selembar tissue kotor saat akan masuk ke dalam kendaraan, seorang tukang parkir menegur kami lalu menunjukkan tulisan “Dilarang Membuang Sampah” yang ada disitu. Kamipun meminta maaf, lalu memasukkan sampah yang kami jatuhkan tersebut ke dalam tempat sampah yang tersedia.

Penginapan Akrab dengan Alam
            Usai berjalan-jalan di Dieng Plateu, perjalanan kami berlanjut. Tirai malam yang mulai turun menyelimuti hari membuat kami harus segera memutuskan untuk mencari tempat kami akan bermalam. Beruntung sebelumnya kami sudah memesan tempat bermalam di sebuah penginapan.
            Kurang lebih setengah jam dari Dieng Plateu Area, kami akhirnya menemukan Agrowisata Tambi, sebuah perkebunan teh sekaligus pondok wisata tempat kami menginap malam itu. Tempat penginapannya menyatu dengan alam. Bernuansa kayu dan dikelilingi banyak pepohonan. Di beberapa bagian nampak jalan-jalan setapak yang nyaman pagi pejalan kaki.
Sebagian dibangun seperti cottage, sebagian lagi kamar-kamar kecil. Meskipun sederhana, secara keseluruhan tempatnya nyaman. Layaknya berada di rumah sendiri saja. Hommy sekali suasananya.
            Malam itu, tidak ada agenda jalan-jalan. Kami hanya berencana makan malam di restoran penginapan lalu tidur untuk melepaskan penat setelah seharian berjalan-jalan. Sekitar pukul 7 malam, kami sekeluarga berjalan menuju restoran penginapan. Makanan yang disajikan adalah berupa hidangan prasmanan yang dapat kita pilih sendiri sesuai selera. Jenis makanannya sederhana, tetapi mengingatkan saya pada makanan rumahan yang dulu disajikan eyang di rumahnya.
            Minuman yang disajikan selain air putih tentu saja ada teh hangat. Teh ini spesial karena berasal dari perkebunan sendiri. Usai makan malam, saya menyeruput teh yang disediakan pelan-pelan. Aromanya yang wangi dan hangatnya teh tersebut membuat tubuh terasa hangat seketika. Nyaman rasanya.
            Udara malam di pegunungan itu terasa semakin dingin. Usai makan malam kami segera masuk ke kamar untuk beristirahat. Besok, acara jalan-jalan ke perkebunan teh telah menanti.

Jalan-jalan ke Kebun Teh
            Pagi harinya, kami sudah siap untuk berjalan-jalan ke kebun teh. Udara sejuk, langit yang berwarna biru cerah dengan awan-awan putih yang bersih membuat kami bersemangat. Setelah makan pagi dan menikmati makanan kecil serta teh yang disediakan, kami dipandu oleh seorang pemandu yang akan memandu perjalanan kami menyusuri perkebunan teh.
            Menurut pemandunya perkebunan teh Tambi dibangun pada tahun 1865. Perkebunan ini merupakan salah satu peninggalan perusahaan milik Belanda yang diambil alih oleh Pemerintah Republik Indonesia setelah kemerdekaan. Letaknya kurang lebih 16 km sebelah utara kota Wonosobo. Perkebunan ini membentang di antara lereng Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro yang memiliki ketinggian 800-2000 meter di atas permukaan laut. Suhu rata-rata disini adalah 16-28 derajat C. Hmm… pantas jika udara disini sungguh sejuk!
            Sambil berjalan menyusuri perkebunan teh kami belajar memetik teh. Daun yang akan dipetik ternyata bukan sembarang daun. Daun tersebut haruslah merupakan pucuk daun teh. Terdiri dari beberapa daun selain pucuk terkecil, yaitu tiga daun sesudah pucuk teratas. Pemetik teh harus melakukannya dengan hati-hati. Dikatakan pula bahwa pucuk teh merupakan pucuk terbaik. Pucuk teh ini dapat menghasilkan 17 macam teh.
            Kami sempat bertanya-tanya, jika hanya pucuk tanaman saja yang dipetik dan digunakan lalu bagian lain dari tanaman tersebut dimanfaatkan untuk apa? Menurut pemandu, bagian tanaman teh yang bawah dibiarkan sebagai daun pemeliharaan. Artinya, daun-daun tersebutlah yang nantinya akan menyuplai makanan bagi pucuk-pucuk daun muda hingga mereka terus bertumbuhan.
            Kami juga diajarkan bagaimana cara memetiknya. Wah, ternyata memetik teh pun memerlukan ketelitian. Jika daun teh yang dipetik salah, maka akan mengakibatkan kualitasnya kurang bagus. Karenanya, setelah dipetik daun-daun tersebut pun mengalami proses penyortiran yang cukup teliti. Selain untuk memisahkan daun yang akan diproses lebih lanjut dan daun yang tak terpakai juga untuk menghitung upah yang ajkan diberikan pada pekerjanya. Sayangnya, saat kami datang tidak ada satupun pekerja yang sedang memetik teh karena saat itu adalah hari Minggu.
            Luas perkebunan teh ini kurang lebih 830 hektar yang terdiri atas tiga unit perkebunan yaitu Tambi, Bedakah, dan Tanjungsari. Sebagian hitam teh yang dihasilkan dari perkebunan ini adalah teh hitam yang dipasarkan di luar negeri dan di pasar lokal. Teh yang berkualitas terbaik banyak diekspor. Mengapa? Karena selain mahal harganya, ternyata teh tersebut kurang memenuhi selera masyarakat lokal.
            Berjalan menyusuri perkebunan teh tersebut lumayan melelahkan. Terutama jika tidak terbiasa berjalan jauh. Tetapi daripada mengeluh, saya memilih menikmati dengan hati ringan. Dan nyatanya tidak terasa melelahkan karena banyak hal menarik yang bisa diamati. Justru sebaliknya, dekat dengan alam membuat tubuh seperti mendapatkan energi baru.
            Saya sempat melepaskan alas kaki, merasakan tanah dan rumput langsung menyentuh kaki. Udara dingin langsung menerpa kulit telapak kaki saat saya membuka sepatu. Tapi lama kelamaan ada kehangatan yang pelan-pelan merambat masuk ke dalam tubuh. Tubuh terasa segar dan berenergi.
            Sesaat saya sempat duduk bersila sambil memejamkan mata, berusaha menyerap energi positif dan udara segar dari sekeliling saya. Selama beberapa menit saya merasakan dengan jelas detak jantung, napas, dan tubuh saya. Dan setelah membuka mata, perasaan saya menjadi lebih baik. Lebih ringan.

Proses Pembuatan Teh
            Setelah menapaki perkebunan teh, kami diajak masuk ke dalam tempat pengolahan. Pabrik pengolahan teh dengan perkebunan tidaklah jauh, kami hanya harus menyeberang jalan saja.
            Sebelum masuk ke dalam pabrik, kami harus melepas sepatu dan menggantinya dengan sandal jepit. Kami masuk ke ruang pelayuan, dimana pucuk-pucuk teh yang telah disortir dengan teliti dilayukan selama kurang lebih 16-18 jam dengan suhu 26 derajat C hingga kadar airnya berkurang sampai 50%. Setiap 6 jam, tumpukan pucuk-pucuk teh tersebut harus dibalikkan.
            Proses selanjutnya adalah penggilingan. Di lantai terdapat lubang-lubang untuk tempat penggilingan. Pucuk-pucuk teh tersebut dimasukkan ke dalam lubang untuk kemudian digiling selama kurang lebih 45 menit. Setelah digiling, teh dipisahkan menurut kualitasnya
Pucuk daun teh digiling lalu dikeringkan. Proses pengeringan bertujuan untuk menjadikan daun the bekurang kadar airnya menjadi hanya 3 persen kadar air. Selama proses ini suhu dijaga sekitar 95-100 derajat Celcius.
Menurut pemandu kami, warna seduhan teh hitam bermacam-macam. Ada yang warnanya terang kemerahan, ada pula yang kecoklatan ataupun kehitaman. Untuk mendapatkan manfaat yang optimal dari meminum teh, ada semacam ritual minum teh yang disarankannya, yaitu seperti ritual minum teh di Jepang.
Saat menyeduh teh, lebih baik gunakan air mendidih daripada merebusnya teh di dalamnya. Lalu teh disajikan dalam gelas kecil. Sebelum minum, ada baiknya kita menghirup aroma yang keluar dari uap airnya selama beberapa detik. Lalu minumlah teh tersebut pelan-pelan sambil menikmati rasanya di lidah dan langit-langit mulut. Dengan demikian, maka teh berfungsi sebagai aromaterapi lebih terasa manfaatnya.
Hari itu, kami pulang dengan membawa oleh-oleh teh yang segar dan beraroma wangi. Selain teh, kami juga sempat mampir ke toko oleh-oleh yang menjual buah tangan khas Dieng. Saya membawa pulang Carica yang dikemas di dalam toples kaca. Carica yang sekilas mirip buah pepaya mini ini adalah manisan yang wajib dibeli pengunjung Dieng. Rasanya manis, kenyal, dan segar.
Tubuh terasa rileks terisi udara segar dari pegunungan Dieng. Pikiran pun terasa ringan. Saya yakin, esok paginya, saya siap beraktivitas dengan jiwa dan semangat yang baru.

Nirmala edisi Agustus 2012

Syarat pengiriman artikel wisata ke Nirmala:
1. Panjang tulisan 6-8 halaman.
2. Font Arial, spasi 1,5.
3. Foto minimal 8 buah.
4. Wisata dalam atau luar negeri sama-sama punya peluang.
5. Kirim ke Dyah Pratitasari (Prita), e-mail pritazamzam@gmail.com.


5 comments :

  1. Wah, udah lengkap syarat-syaratnya. Makasih infonya ya mbak :)

    ReplyDelete
  2. makasi ya mbak...infonya sangat detail n tentunya tulisannya kudu dikemas apik,kan mbak ^_^ sukses tyuss ya :)

    ReplyDelete
  3. Dieng hampir sama dengan lembang ternyata ya.. udara dingin kebun teh... wah mantep.. pengen lagi kesana.. terimakasih sudah mengingatkan kembali... Salam

    ReplyDelete