Parenting, Mei 2008 |
Keisya
terbilang anak yang susah makan. Makanya wajar saja kalau berat badannya bisa langsung
turun drastis begitu dia sakit, meskipun hanya sakit ringan seperti batuk atau
pilek saja. Pasalnya, begitu terasa sakit, dia akan lebih susah lagi disuruh
makan.
Suatu
kali pernah terjadi Keisya mogok makan hingga tiga hari lamanya karena pilek.
Yang namanya mogok makan, bagi Keisya berarti benar-benar tidak makan sesuap
nasi pun! Paling-paling hanya susu yang tetap mengisi perutnya. Oleh sebab itu,
saat Keisya sakit, dia bisa menghabiskan lebih banyak susu, yang artinya lebih
banyak lagi pengeluaran kami untuk membeli susu karena Keisya sudah tidak minum
ASI sejak usia delapan bulan.
Tentu
saja, saya sudah berupaya berbagai macam cara menyiasati pola makan Keisya yang
kacau balau. Sehari makan, sehari berikutnya bisa tidak makan sama sekali, itu
sudah sering terjadi. Seperti halnya ibu-ibu yang lainnya yang mempunyai anak picky eater seperti Keisya, seringkali
saya kebingungan ketika Keisya mulai terlihat kurus atau tidak mau makan di
saat sakit.
Dari
beberapa referensi yang saya baca, saya mulai menginstruksikan beberapa resep
makanan untuk balita kepada Atun, pembantu rumah tangga kami. Saya memang tidak
lihai memasak. Jadi, karena khawatir masakan yang saya masak tidak enak
sehingga justru merusak selera makan Keisya, saya selalu mendelegasikan urusan
masak memasak pada Atun.
Setiap
hari, saya memilihkan menu lengkap untuk Keisya dari menu sarapan, makan siang,
makan sore, dan makanan selingan untuk camilan. Saya jelaskan pada Atun,
bahan-bahan apa yang harus digunakan lalu bagaimana cara memasaknya. Agar tidak
salah mengartikan apa yang saya baca dari majalah atau buku, Atun selalu saya
minta membaca pula resep tersebut.
Namun
demikian, jarang sekali saya ikut turun tangan sendiri ke dapur untuk meracik
masakan yang akan dibuat. Bukannya apa-apa, saya benar-benar tidak pede memasak! Alih-alih membuat makanan
enak, saya takut masakan yang saya masak tidak enak di lidah. Soalnya sebelum
Keisya lahir, saya sering memasak makanan yang rasanya ajaib alias tidak enak.
Bisa dibilang saya ahli membuat masakan gosong, keasinan, atau campur aduk
rasanya. Suami saya bahkan lebih mahir memasak dibandingkan saya.
Khusus
untuk Keisya, tidak sedikit resep yang sudah Atun coba praktekkan berdasarkan
petunjuk buku-buku dan majalah yang telah saya baca sebelumnya. Dari makanan
khas Indonesia seperti nasi goreng yang sudah dimodifikasi dengan keju serta
campuran sosis dan daging, hingga makanan yang sudah biasa dimakan keluarga
kami tetapi dihias atau dibentuk menjadi kelinci, wajah, dan sebagainya. Yang
jelas segala jenis masakan kami coba demi untuk membangkitkan selera makan
Keisya.
Tidak
seperti yang kami bayangkan, Keisya sepertinya tidak terlalu antusias makan
makanan yang disiapkan untuknya. Meski tertarik dengan tampilan makanannya yang
sudah dihias sedemikian rupa, tetapi tetap saja dia hanya makan sesuap dua suap
saja, sekedar mencicipi saja. Tidak enakkah rasa masakan Atun? Diam-diam saya
ikut mencoba makanan yang dimasak Atun. Hmm... rasanya lezat, tidak kalah
dengan tampilannya yang menarik. Saya jadi bertanya-tanya, mengapa Keisya tidak
mau makan makanan seenak itu?
Akhirnya,
meski dimasakkan secara khusus, tetap saja selera makan Keisya tidak berubah.
Jika sedang tidak ingin makan, dia tahan hanya makan sekali sehari atau bahkan
tidak makan seharian. Bahkan jika dipaksa, dia tidak mau membuka mulut sama
sekali. Seringkali, dia memuntahkan makanan yang sudah ada di dalam mulutnya
kalau tidak suka makanan tersebut.
Berat
badannya yang naik dengan lambat, namun bisa turun dengan drastis jika sakit
membuat saya bolak-balik ke dokter hampir setiap bulannya. Meskipun dokter
sudah turun tangan menyiasati dengan berbagai macam vitamin atau penambah nafsu
makan tidak ada perubahan yang signifikan pada pola makan Keisya. Lama kelamaan
karena capek mencoba berbagai macam cara, saya tidak lagi berusaha memaksanya
makan atau meminta Atun membuatkan masakan khusus untuknya. Keisya hanya makan
jika dia memang mau lapar, karenanya dia jadi lebih banyak minum susu.
Suatu
ketika, karena Atun sakit ketika pulang kampung. Dia pamit untuk sementara
waktu tidak bisa bekerja samapai sembuh. Akibatnya, tidak ada orang yang bisa
memasak untuk kami berhari-hari lamanya. Saya pun memilih membeli makanan di
luar untuk makan kami sekeluarga. Alasan saya, selain praktis, saya juga jadi
terbantu karena selama Atun sakit, tentu saja sayalah yang harus mengurus semua
pekerjaan rumah (yang tidak pernah ada habisnya) dan mengurus Keisya. Ternyata
setelah beberapa hari membeli makan di luar, pengeluaran untuk makan jadi lebih
besar. Selain itu, saya pun mulai bosan makan makanan yang itu-itu saja setiap
harinya. Saya benar-benar rindu masakan rumah!
Akhirnya
saya nekad memasak. Hari itu mulailah saya mempersiapkan makanan yang gampang
dimasak. Karena tidak ada yang menemaninya bermain selama saya memasak, saya
biarkan Keisya duduk-duduk di dapur sambil melihat saya memasak. Belum juga
makanan yang saya masak matang, Keisya sudah merengek minta makan. Hei..., tidak
biasanya dia seperti itu. Biasanya, sayalah yang harus membujuk dia untuk
makan.
Saya
pun terheran-heran melihat Keisya makan makanan hasil masakan saya dengan
lahap. Bahkan sayurnya pun dihabiskan hingga tandas. Berulang kali dia bilang,
”Lagi... lagi...”, minta nambah makan. Padahal, saya hanya masak sayur bayam
dan omelet, yang menurut saya, rasanya standar banget!
Keheranan
saya tidak juga sirna setelah beberapa hari saya memasak, Keisya masih juga
melahap masakan saya hingga ludes. Sop ayam, tumis tauge, nasi goreng, dan
sebagainya, semua dimakannya tanpa protes. Keisya, si picky eater itu, ternyata doyan masakan saya.
Berkat
Keisya, sekarang saya jadi lebih pede
memasak. Saya pun jadi mengerti, mengapa Keisya dulu susah sekali makan. Masakan
saya memang tidak lebih enak dari makanan yang dimasak Atun, tetapi tentu saja
masakan saya dibuat dengan bumbu cinta dan kasih sayang seorang ibu pada
anaknya. Tidak ada yang bisa melebihi rasa masakan yang dibuat dengan cinta dan
kasih sayang, bukan? Mungkin, karena itulah Keisya mau makan dengan lahap. Kini
saya tidak lagi harus bersusah payah memaksa Keisya makan karena kalau saya
yang memasak, Keisya selalu mau makan. [Fita Chakra]
Kalau saya ikutan masak sama ibu saya juga suka ikutan nyicip, nyemil2in sampe diprotes ibu saya. Kalau kamu cemilin terus ni makanan enggak bakalan tersaji. Jadinya cuma dikit aja, hehehehe....
ReplyDeleteKalau ga nyemilin hasil masakan, rasanya gimana gitu ya. Entah, ini kebiasaan jelek atau bukan :D
Hehe, sama aja ya. Di rumahku juga begitu. :))
DeleteMenyemai cinta melalui masakan memang bisa membangkitkan selera makan. Setuju kalau ternyata anak-anak lebih menyukai masakan sang ibu dari pada embaknya.
ReplyDeleteIya. Nggak perlu jadi chef ya, yang penting karena cinta... cieee
Deletekayak Thifa juga nih, kalo dibeliin kue di luar suka ga mau makan, giliran aku yang bikin dan dia menyaksikannya, bisa habis sampe berpotong2 kue
ReplyDelete:D hehehe padahal, nggak tahu juga ya rasanya enak apa nggak :p
DeleteKalau dua ponakan saya yang dari kecil nggak doyan makan, makannya snack doang, mulai lirik nasi pas udah dikirim ke Pesantren. Di pondok biar dikasih nasi lauknya tempe sama telor rebus mereka makan juga, daripada kelaparan kali, ya :D
ReplyDeleteSekarang tiap pulang ke rumah, dikasih apa aja doyan @__@
Ngomong-ngomong, salam kenal. Bagus tipsnya, buat bekal kalau nanti saya punya isteri. :D