Tuesday, June 18, 2013

[Lomba Resensi Novel 12 Menit] Belajar Memercayai Impian



Judul                          : 12 Menit
Penulis                        : Oka Aurora
Penerbit                      : Noura Books
Cetakan                      : I, Mei 2013
Jumlah Halaman           : 343 halaman

Kalau ingin menang, berpikirlah sebagai pemenang – Rene (halaman 307)

Bagi Rene, masalah terbesar saat mengajar anak-anak Marching Band Bontang Pupuk Kaltim bukanlah masalah teknik bermain, tetapi masalah kepercayaan diri. Mereka jauh dari mental juara yang ditemui Rene saat melatih tim-tim lain. Rene sempat bimbang dan meragukan dirinya sendiri. Meski beberapa kali tim Marching Band bimbingannya menjadi juara GPMB (Grand Prix Marching Band), Rene menghadapi kenyataan betapa susahnya membesarkan jiwa anak-anak Bontang. Saat mereka merasa “kecil”, Rene tahu, mereka akan kalah sebelum bertanding.
Selain masalah kepercayaan diri, Rene menghadapi masalah lain. Masing-masing pemain dalam tim, punya persoalan yang datang dari dalam diri dan keluarga mereka. Masalah-masalah ini membuat tim beberapa kali hampir kehilangan pemain karena mereka mengundurkan diri. Coba tengok kisah beberapa anggota ini.
Elaine, baru pindah dari Jakarta ketika bergabung di tim Marching Band Bontang Pupuk Kaltim. Dia merasa menemukan dunianya di tempat itu. Sejak mengenal biola, baginya musik adalah segala-galanya. Sayang, sang ayah Josuke Higoshi menentang kecintaannya pada musik. Elaine dan mamanya, mati-matian berjuang supaya Elaine tetap bisa berlatih. Bahkan, saat Josuke mensyaratkan nilai ulangan tak boleh kurang dari 95,  Elaine menyanggupi. Terbukti, nilai Elaine bisa tetap cemerlang meski latihan marching band sangat menyita waktu.
Persoalannya, ayahnya marah besar ketika tahu Elaine melepas kesempatan bertanding di Olimpiade Fisika karena saatnya bersamaan dengan hari GPMB dilaksanakan. Josuke melakukan segala cara untuk menghalangi Elaine meski tahu pada Elaine-lah timnya bergantung. Karena Elaine terpilih sebagai Field Commander, pemimpin tim marching band.
Tara, gadis yang pendengarannya terbatas. Kecelakaan merenggut jiwa ayahnya sekaligus mengurangi daya dengarnya. Tara terpuruk, karena tidak bisa lagi mendengar nada-nada snare drum dengan baik tanpa alat bantu. Namun penyesalan terbesar Tara adalah dia merasa dialah penyebab kematian ayahnya. Bersama Opa dan Oma, Tara melalui naik turunnya semangat bermusik. Tara sempat merasa down karena lelah dengan kecaman Rene dan keterbatasannya. Dia butuh dukungan ibunya. Namun, ibunya tak pernah memenuhi harapan Tara untuk pulang dari Inggris, tempatnya menuntut ilmu.
Lahang, seorang pemuda yang tinggal di pedalaman. Untuk berlatih dia harus menempuh jarak berkilo-kilometer melewati rawa-rawa yang dihuni buaya. GPMB adalah satu-satunya jalan bagi Lahang untuk melihat Monas, memenuhi impian ibunya yang sudah tiada. Lahang berada dalam dilema ketika ayahnya kritis sementara saat itu dia mesti berangkat ke Jakarta. Lahang tidak ingin meninggalkan ayahnya karena khawatir ayahnya tiada tanpa dia di sisinya, seperti saat ibunya meninggal. Tapi sang ayah berjanji akan menunggu Lahang, sehingga Lahang tetap berangkat. Lahang tak menyangka, di hari besarnya, ayahnya pergi untuk selamanya.
Rene berpacu dengan waktu. Meski awalnya ragu, sifat keras kepalanya membuatnya jauh dari kata menyerah. Ketika bentakan dan sikap keras tak membuahkan hasil, Rene baru menyadari dia perlu pendekatan lain: melihat dengan mata hati.
Rene melihat sendiri bagaimana marahnya Tara pada diri sendiri. Diam-diam, dia melihat Tara memainkan stik drum asal-asalan pada jirigen saking marahnya. Tara putus asa karena telinganya membuatnya kesulitan menyelaraskan irama. Perlu waktu bagi Tara sampai dia mau “didorong melewati tanjakan” seperti kiasan Opanya.
“Kadang-kadang, hidup itu ya, kayak gitu, Dek. Kayak dorong mobil di tanjakan,” jelas Opa, “susah. Berat. Capek. Tapi kalau terus didorong, dan terus disoain, insya Allah akan sampai” (halaman 160).
Tidak hanya itu, Rene juga berdebat dengan Josuke yang dengan keras melarang Elaine karena ingin Elaine jadi ilmuwan, bukan dirigen. Ini sebanding susahnya saat membangkitkan semangat Lahang supaya tetap berangkat ke GPMB. Namun semuanya terbayar, saat tim mereka berteriak lantang di akhir acara menyerukan yel. Vincero!
Berkaca pada mereka, remaja di kota kecil yang berjuang ribuan jam untuk dua belas menit penampilan membuat saya teringat masa kecil saya. Masa kecil saya, saya habiskan di pedesaan. Saya melihat sendiri bagaimana susah payahnya guru-guru saya membangkitkan kepercayaan diri kami untuk bersaing dengan tim cerdas cermat dari kota. Ketika akhirnya kami menang, baru saya percaya, saya bisa meraih impian yang lebih besar. Dan masa itu, yang hanya berlangsung selama satu jam, saya kenang untuk selamanya.
Novel yang bertabur istilah Marching Band ini adalah novel tentang GPMB yang pertama kali saya baca. Saya sempat membaca beberapa ulasan “12 Menit Untuk Selamanya” yaitu film yang diangkat dari novel ini, disebut-sebut pula sebagai film pertama yang mengulas tentang kehidupan anak-anak marching band. Membaca novel ini membuat saya sedikit mengenal beberapa istilah marching band seperti battery, cadet band, drum corps, legato, rudiment, dan sebagainya. Kalimat-kalimat menggugah semangat banyak saya temukan di dalamnya. Dan ini membuat saya berpikir, buku ini pantas saya rekomendasikan.
Namun sesungguhnya, kesan yang mendalam yang saya peroleh adalah pelajaran tentang kerja keras, pantang menyerah, dan kepercayaan diri merupakan awal dari keberhasilan. Tanpa itu semua, seseorang tak akan berani melangkah. Apalagi menjadi pemenang. Karena, seorang pemenang sejati tidak akan pernah berpikir kalah sebelum bertanding. 
Last but not least, saya tuliskan quote keren dari novel ini:
Berapa pun waktu yang diberikan, tak seharusnya dihabiskan dengan ketakutan. Karena ketakutan, Anakku, tak akan pernah menyambung hidupmu. Yang akan menyambung hidupmu, hanya keberanian.” – Bapak Lahang (halaman 104)
Bermimpilah, dan percayai mimpi itu, niscaya impianmu akan terwujud. 

Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Resensi Novel 12 Menit 



16 comments :

  1. merinding2 piye ngono loh Fit baca resensimu ini, pas bahas penokohan yg ada di novel. bagus banget resensinya, moga2 menang ya bunda Keisya ;)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin. Doanya, Mbak. Moga jadi rezekiku :) Novelnya bisa menggambarkan tokoh-tokohnya dengan baik. Aku jadi ikut belajar.

      Delete
  2. membaca resensi mba Fitria, jadi ingin membaca langsung bukunya...sukses ya

    ReplyDelete
  3. makasih mbak Fita atas reviewnya...bisa jadi ajang latihan juga.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya bener. Makasih udah mampir ke sini hehhehe

      Delete
  4. Pengen baca ey..sukses fiit....

    ReplyDelete
  5. Wow, resensinya lengkap kap kap... bisa belajar nih nulis review :) jadi penasaran sama bukunya

    ReplyDelete
  6. berjuang ribuan jam untuk dua belas menit penampilan ---> kalimat ini bikin merinding. Good Luck ya mbak :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalimat ini ada di covernya, Mbak hihi... Makasih sudah mampir. Aamiin. :)

      Delete
  7. tara mesti sabar. emang hidup gak selamanya indah. harus tetep semangat. luar biasa, ini ternyata blog penulis profesional. tidak ada waktu selain menulis, kayaknya. sukses buar ulasannya. BTW, banyak yg masih tidak menerima/menerapkan peluluhan awal kata behuruf P, C bila bertemu awal me-. pusat bahasa mestinya mensosialisasikan hal ini. saya ulas sedikit karena judul ada kata "memercayai".

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih sudah mampir, Mas. Sehari-hari pekerjaan saya memang menulis :) Iya, bagi yang nggak biasa terasa aneh ketika huruf "p" itu luluh.

      Delete
  8. Nobel 12 menit ini memang sangat bagus menurutku, dan membuatku gak sabar juga utk melihat filmnya.
    Semoga buku dan juga filmnya akan mampu menginspirasi anak2 muda (khususnya) utk berani bermimpi dan meraih mimpi.

    Keren resensinya... semoga menang

    ReplyDelete
  9. Sama, Fit, ini novel tentang Marching Band yang pertama aku baca. Bagus.
    Udah ada belum ya pengumumannya?

    ReplyDelete