Judul : 12 Menit
Penulis : Oka Aurora
Penerbit : Noura Books
Cetakan : I, Mei 2013
Jumlah
Halaman : 343 halaman
Kalau ingin menang, berpikirlah
sebagai pemenang –
Rene (halaman 307)
Bagi Rene, masalah terbesar saat mengajar anak-anak Marching
Band Bontang Pupuk Kaltim bukanlah masalah teknik bermain, tetapi masalah
kepercayaan diri. Mereka jauh dari mental juara yang ditemui Rene saat melatih
tim-tim lain. Rene sempat bimbang dan meragukan dirinya sendiri. Meski beberapa
kali tim Marching Band bimbingannya menjadi juara GPMB (Grand Prix Marching
Band), Rene menghadapi kenyataan betapa susahnya membesarkan jiwa anak-anak
Bontang. Saat mereka merasa “kecil”, Rene tahu, mereka akan kalah sebelum
bertanding.
Selain masalah kepercayaan diri, Rene menghadapi masalah
lain. Masing-masing pemain dalam tim, punya persoalan yang datang dari dalam
diri dan keluarga mereka. Masalah-masalah ini membuat tim beberapa kali hampir
kehilangan pemain karena mereka mengundurkan diri. Coba tengok kisah
beberapa anggota ini.
Elaine, baru pindah dari Jakarta ketika
bergabung di tim Marching Band Bontang Pupuk Kaltim. Dia merasa menemukan
dunianya di tempat itu. Sejak mengenal biola, baginya musik adalah
segala-galanya. Sayang, sang ayah Josuke Higoshi menentang kecintaannya pada
musik. Elaine dan mamanya, mati-matian berjuang supaya Elaine tetap bisa
berlatih. Bahkan, saat Josuke mensyaratkan nilai ulangan tak boleh kurang dari
95, Elaine menyanggupi. Terbukti, nilai Elaine
bisa tetap cemerlang meski latihan marching band sangat menyita waktu.
Persoalannya, ayahnya marah besar ketika tahu Elaine melepas
kesempatan bertanding di Olimpiade Fisika karena saatnya bersamaan dengan hari
GPMB dilaksanakan. Josuke melakukan segala cara untuk menghalangi Elaine meski
tahu pada Elaine-lah timnya bergantung. Karena Elaine terpilih sebagai Field Commander, pemimpin tim marching
band.
Tara, gadis yang pendengarannya terbatas.
Kecelakaan merenggut jiwa ayahnya sekaligus mengurangi daya dengarnya. Tara
terpuruk, karena tidak bisa lagi mendengar nada-nada snare drum dengan baik tanpa alat bantu. Namun penyesalan terbesar
Tara adalah dia merasa dialah penyebab kematian ayahnya. Bersama Opa dan Oma,
Tara melalui naik turunnya semangat bermusik. Tara sempat merasa down karena lelah dengan kecaman Rene
dan keterbatasannya. Dia butuh dukungan ibunya. Namun, ibunya tak pernah
memenuhi harapan Tara untuk pulang dari Inggris, tempatnya menuntut ilmu.
Lahang, seorang pemuda yang tinggal di
pedalaman. Untuk berlatih dia harus menempuh jarak berkilo-kilometer melewati
rawa-rawa yang dihuni buaya. GPMB adalah satu-satunya jalan bagi Lahang untuk melihat
Monas, memenuhi impian ibunya yang sudah tiada. Lahang berada dalam dilema
ketika ayahnya kritis sementara saat itu dia mesti berangkat ke Jakarta. Lahang
tidak ingin meninggalkan ayahnya karena khawatir ayahnya tiada tanpa dia di
sisinya, seperti saat ibunya meninggal. Tapi sang ayah berjanji akan menunggu
Lahang, sehingga Lahang tetap berangkat. Lahang tak menyangka, di hari
besarnya, ayahnya pergi untuk selamanya.
Rene berpacu dengan waktu. Meski
awalnya ragu, sifat keras kepalanya membuatnya jauh dari kata menyerah. Ketika
bentakan dan sikap keras tak membuahkan hasil, Rene baru menyadari dia perlu
pendekatan lain: melihat dengan mata hati.
Rene melihat sendiri bagaimana marahnya Tara pada diri
sendiri. Diam-diam, dia melihat Tara memainkan stik drum asal-asalan pada
jirigen saking marahnya. Tara putus asa karena telinganya membuatnya kesulitan
menyelaraskan irama. Perlu waktu bagi Tara sampai dia mau “didorong melewati
tanjakan” seperti kiasan Opanya.
“Kadang-kadang, hidup
itu ya, kayak gitu, Dek. Kayak dorong mobil di tanjakan,” jelas Opa, “susah.
Berat. Capek. Tapi kalau terus didorong, dan terus disoain, insya Allah akan
sampai” (halaman
160).
Tidak hanya itu, Rene juga berdebat dengan Josuke yang dengan
keras melarang Elaine karena ingin Elaine jadi ilmuwan, bukan dirigen. Ini
sebanding susahnya saat membangkitkan semangat Lahang supaya tetap berangkat ke
GPMB. Namun semuanya terbayar, saat tim mereka berteriak lantang di akhir acara
menyerukan yel. Vincero!
Berkaca pada mereka, remaja di kota kecil yang berjuang
ribuan jam untuk dua belas menit penampilan membuat saya teringat masa kecil
saya. Masa kecil saya, saya habiskan di pedesaan. Saya melihat sendiri bagaimana
susah payahnya guru-guru saya membangkitkan kepercayaan diri kami untuk
bersaing dengan tim cerdas cermat dari kota. Ketika akhirnya kami menang, baru
saya percaya, saya bisa meraih impian yang lebih besar. Dan masa itu, yang
hanya berlangsung selama satu jam, saya kenang untuk selamanya.
Novel yang bertabur istilah Marching Band ini adalah novel
tentang GPMB yang pertama kali saya baca. Saya sempat membaca beberapa ulasan
“12 Menit Untuk Selamanya” yaitu film yang diangkat dari novel ini,
disebut-sebut pula sebagai film pertama yang mengulas tentang kehidupan
anak-anak marching band. Membaca novel ini membuat saya sedikit mengenal
beberapa istilah marching band seperti battery,
cadet band, drum corps, legato, rudiment, dan sebagainya. Kalimat-kalimat menggugah semangat banyak saya temukan di dalamnya. Dan ini membuat saya berpikir, buku ini pantas saya rekomendasikan.
Namun sesungguhnya, kesan yang mendalam yang saya peroleh
adalah pelajaran tentang kerja keras, pantang menyerah, dan kepercayaan diri
merupakan awal dari keberhasilan. Tanpa itu semua, seseorang tak akan berani
melangkah. Apalagi menjadi pemenang. Karena, seorang pemenang sejati tidak akan
pernah berpikir kalah sebelum bertanding.
Last
but not least, saya tuliskan quote keren dari novel ini:
Berapa pun waktu yang diberikan, tak
seharusnya dihabiskan dengan ketakutan. Karena ketakutan, Anakku, tak akan pernah
menyambung hidupmu. Yang akan menyambung hidupmu, hanya keberanian.” – Bapak Lahang (halaman 104)
Bermimpilah, dan percayai mimpi itu, niscaya impianmu akan
terwujud.
Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Resensi Novel 12 Menit
merinding2 piye ngono loh Fit baca resensimu ini, pas bahas penokohan yg ada di novel. bagus banget resensinya, moga2 menang ya bunda Keisya ;)
ReplyDeleteAamiin. Doanya, Mbak. Moga jadi rezekiku :) Novelnya bisa menggambarkan tokoh-tokohnya dengan baik. Aku jadi ikut belajar.
Deletemembaca resensi mba Fitria, jadi ingin membaca langsung bukunya...sukses ya
ReplyDeleteAamiin. Makasih sudah mampir. :)
Deletemakasih mbak Fita atas reviewnya...bisa jadi ajang latihan juga.
ReplyDeleteIya bener. Makasih udah mampir ke sini hehhehe
DeletePengen baca ey..sukses fiit....
ReplyDeleteAamiin. Makasih, Dew. :)
DeleteWow, resensinya lengkap kap kap... bisa belajar nih nulis review :) jadi penasaran sama bukunya
ReplyDeleteAyo ikutan, Wur. Masih lama lombanya :)
Deleteberjuang ribuan jam untuk dua belas menit penampilan ---> kalimat ini bikin merinding. Good Luck ya mbak :)
ReplyDeleteKalimat ini ada di covernya, Mbak hihi... Makasih sudah mampir. Aamiin. :)
Deletetara mesti sabar. emang hidup gak selamanya indah. harus tetep semangat. luar biasa, ini ternyata blog penulis profesional. tidak ada waktu selain menulis, kayaknya. sukses buar ulasannya. BTW, banyak yg masih tidak menerima/menerapkan peluluhan awal kata behuruf P, C bila bertemu awal me-. pusat bahasa mestinya mensosialisasikan hal ini. saya ulas sedikit karena judul ada kata "memercayai".
ReplyDeleteMakasih sudah mampir, Mas. Sehari-hari pekerjaan saya memang menulis :) Iya, bagi yang nggak biasa terasa aneh ketika huruf "p" itu luluh.
DeleteNobel 12 menit ini memang sangat bagus menurutku, dan membuatku gak sabar juga utk melihat filmnya.
ReplyDeleteSemoga buku dan juga filmnya akan mampu menginspirasi anak2 muda (khususnya) utk berani bermimpi dan meraih mimpi.
Keren resensinya... semoga menang
Sama, Fit, ini novel tentang Marching Band yang pertama aku baca. Bagus.
ReplyDeleteUdah ada belum ya pengumumannya?