Wednesday, June 17, 2015

[Dimuat di Kompas] Kartini Bagi Lili



Tulisan ini dimuat di Rubrik Nusantara Bertutur, Kompas 19 April 2015. Versi cetak ditambah satu kalimat pembuka. Jika ingin mengirimkan tulisan untuk Nusantara Bertutur, berikut ini syaratnya (saya copas dari FB Nusantara Bertutur):
Cerita harus menyampaikan minimal satu pesan moral dari 10 karakter unggul Nusantara Bertutur, yaitu :
Religius, jujur.
Disiplin, kerja keras, mandiri.
Aktif, kreatif, bersemangat, rasa ingin tahu.
Demokratis, toleransi, cinta damai.
Semangat kebangsaan, cinta tanah air.
Menghargai prestasi.
Bersahabat, berkomunikasi.
Gemar membaca.
Peduli sosial.
Peduli lingkungan
Panjang naskah maksimal 2500 karakter.

Kirim melalui email nusantarabertutur@gmail.com

Kartini Bagi Lili

Nusantara Bertutur, Kompas 19 April 2015 


“Siapa mau pinjam buku?”
“Aku pinjam, Kak. Aku suka lihat gambarnya, bagus,” terdengar suara Dito, salah satu teman Lili.
“Kamu lagi,” kata Lili saat mendengarnya.“Anak-anak di sini sibuk kerja. Lagipula, mereka nggak sekolah. Tidak bisa baca,” ujar Lili ketus.
“Mereka pinjam buku-bukuku, lho,” kata Arin.
Lili terdiam. Sesungguhnya, Lili iri. Pasti, dalam buku itu banyak cerita menarik. Sayangnya, Lili tak bisa melihat, apalagi membacanya.
“Aku bacakan, ya,” Arin menawarkan. "Di sebuah istana tinggallah seorang putri...”
“Yang cantik, baik hati dan penolong,” potong Lili. “Bosan, ah dengar cerita itu,” omel Lili.
Tawa Arin terdengar, “Kamu kan belum tahu jalan ceritanya.”
“Kenyataannya, cerita seperti itu yang selalu kudengar,” sergah Lili. “Iya, kan?”
“Tapi cerita ini lain, lho. Ini kisah putri yang pemberani dan tangguh, yang berjuang mewujudkan mimpi.”
Sekarang Lili yang tertawa, “Mimpi? Kalau aku bilang, aku ingin melihat dunia, apa itu akan terjadi?”
Arin diam sebentar lalu berkata, “Aku bisa membantumu. Aku akan membacakan buku setiap hari. Dari buku kamu bisa melihat dunia,” ujar Arin. “Kamu bisa tahu apa saja dari buku.”
Lili menggeleng tak percaya.
“Aku akan ke sini. Setiap hari,” Arin menekankan kalimat terakhirnya sungguh-sungguh.
Mendadak, bibir Lili bergerak naik, melengkung membentuk senyum. Tawaran itu sangat menarik.
“Janji?” Lili mengacungkan kelingkingnya.
“Janji.” Arin menyambut dengan mengaitkan kelingkingnya.

Siang itu, Arin kembali datang untuk membacakan buku. Setelah membaca buku, Arin dan Lili berbincang.
“Kalau besar nanti, aku mau jadi guru,” kata Lili sehabis Arin membacakan cerita tentang Ibu Kartini yang mendirikan sekolah untuk para perempuan. “Tapi… mana ada guru yang buta.”
“Tentu saja ada. Kamu, Li,” sergah Arin. “Aku punya sesuatu yang istimewa buatmu.” Arin meletakkan sebuah buku di pangkuan Lili.
Lili meraba buku itu perlahan. Ada sesuatu yang berbeda. Titik-titik membentuk pola di dalam lembaran-lembaran buku.
“Apa ini?” tanya Lili.
“Namanya huruf Braille. Huruf khusus untuk tuna netra. Supaya bisa baca, seperti aku,” jelas Arin.
“Bagaimana cara membacanya?”
“Sini, aku ajari,” ujar Arin membimbing tanganku. “Yang ini huruf A, lalu ini B, C…”
Mulut Lili komat-kamit menghapal huruf-huruf Braille itu.
“Dari mana kamu tahu huruf ini?” tanya Lili penasaran.
“Tanteku. Seorang guru yang mengajar anak-anak tuna netra. Kelak, kamu bisa seperti dia,” kata Arin.
Hati Lili berdebar senang. Huruf-huruf untuk anak tuna netra! Baru kali ini, Lili mendengarnya. Tiba-tiba, Lili ingat cerita yang dibaca Arin tadi.
“Arin, kalau ada yang bertanya siapa Kartini bagiku, aku tahu jawabannya.”
“Siapa, Li?”
“Kamu adalah Kartini-ku, Rin,” ujar Lili. “Berkat kamu, aku yakin bisa menjadi guru kelak.”
Arin tersenyum senang. Hatinya bahagia [Fita Chakra]

3 comments :