“Ini sekolahku, Bu?”
aku menatap Ibu, tak percaya.
Ibu mengangguk mantap.
“Benar. Sekolah ini
sekolah terbaik,” jawab Ibu.
Bangunan sekolah itu
retak-retak di segala sudut. Lantainya bahkan beralaskan bergelombang tak rata.
Ruang kelasnya gelap, kotor lantainya oleh tanah becek yang terbawa kaki-kaki
kecil para murid, dan bangkunya yang memanjang sebagian besar berisi tiga orang
murid yang duduk berdesakan. Bagaimana mungkin ini sekolah terbaik?
“Ibu harap kamu senang
sekolah di sini,” kata Ibu lembut namun tegas, membuatku tak kuasa berkata yang
sebenarnya.
Ketika lonceng
berbunyi, murid-murid seolah dimuntahkan keluar dari ruang kelas mereka. Ada
seorang gadis yang nampak menarik perhatianku. Bukan karena dia terlihat lebih
rapi atau cantik. Tapi karena dia nampak aneh.
Kepalanya terlihat
seperti besar, tak sebanding dengan tubuh kurusnya, serupa dengan jarum pentul.
Sebaliknya ekspresinya nampak kekanak-kanakan. Sungguh paduan yang sama sekali
tak bisa dibilang serasi. Ingus yang mengalir dari hidung besarnya.
Beberapa saat, aku
memandanginya dari ujung rambut hingga kaki. Dan… mulutku ternganga, ketika
melihat kakinya yang tanpa sepatu!
Di kelas, aku melirik
gadis aneh itu. Aku tahu, sejak tadi dia menatapku. Aku jadi jengah
diperhatikan.
Tiba-tiba dia berdiri,
menuju ke arahku. Jantungku berdebar. Aku takut bukan main. Wajahnya yang aneh
membuatku gelisah. Mau apa dia?
“Kenalkan,” dia mengulurkan
tangannya. Sekilas aku melihat tangannya serupa kotornya dengan kakinya,
kukunya hitam-hitam. Aku jijik melihatnya. Tapi, rasanya tak sopan jika tak
kusambut uluran tangannya.
“Fitri,” jawabku pendek. Buru-buru kutarik
tanganku. Ih, berapa banyak kuman yang menempel di tangannya itu? Aku lalu melirik
kakinya. Nampak besar dengan jari-jari mencuat serta kulit yang menebal kotor.
Aku yakin dia juga menggembala kambing tanpa alas kaki. Membayangkan kotoran
kambing menempel di kakinya membuatku semakin jijik.
“Namaku Gudel,” katanya.
Sungguh, aku hampir
tersedak. Gudel? Itu kan nama anak kerbau dalam bahasa Jawa! Kok bisa orang
tuanya kasih nama seperti itu?
Gudel mendekatiku.
Tanpa sengaja kakinya menginjak sepatuku. Sepatuku jadi kotor, berbekas telapak
kakinya.
Spontan, aku mengusap
sepatuku dengan tissue. Mungkin Gudel mendengar aku mendengus kesal. Tapi aku
tak peduli. Sepulang sekolah, aku akan mencuci sepatuku, tekadku dalam hati.
“Maaf,” ujarnya pelan.
Dia menunduk menghindari lirikanku yang tajam.
“Tak apa,” aku menjawab
pendek. Aku hanya ingin percakapan ini
segera berakhir.
“Sepatumu bagus,”
katanya lagi. “Aku tak pernah punya sepatu,” ucapnya.
Aku terperangah. Wajahku
terasa panas, tersindir ucapannya.
Tiba-tiba aku merasa malu.
Aku pernah merengek berhari-hari karena Ibu tak membelikanku sepatu baru.
Sepatuku memang bukan sepatu yang mahal. Tetapi cukup melindungiku dari panas,
becek, dan kotoran. Seharusnya, aku bersyukur.
Aku membiarkannya
berjalan ke kelas lebih dulu. Melihat tubuhnya yang bongsor, aku yakin usia
Gudel jauh lebih tua dibandingkan usia teman-teman sekelasku. Mengapa dia
dimasukkan di kelas tiga? Apakah karena dia tinggal kelas?
Aku langsung duduk di
bangkuku. Pak Nur, guru kami telah memilihkan sebuah bangku untukku di samping
Dina.
“Gudel belum lancar
membaca,” bisik Dina padaku seolah tahu yang kupikirkan.
Aku tertegun. Seharusnya
anak-anak kelas tiga sudah lancar baca tulis.
“Usianya sudah sebelas
tahun. Dia tinggal kelas berkali-kali,” lanjut Dina semakin membuatku terkejut.
Pantas saja tubuhnya terlihat besar.
Braak!
Suara seseorang yang
terjatuh di lantai membuat aku dan Dina serentak menoleh ke arah yang sama. Gudel
terjatuh di lantai!
Kakinya yang kotor
menyepak-nyepak ke segala arah. Tangannya juga menggapai dengan riuh. Liur
keluar dari mulutnya. Berbuih, mengalir di ujung mulutnya. Mata Gudel mendelik.
Bagian putih matanya terlihat. Sungguh mengerikan!
Kelas sontak ramai.
“Panggil Pak Nur,”
seseorang berteriak.
Adi, ketua kelas kami
berlari ke luar kelas. Sementara Dina bergegas menyisipkan sapu tangannya ke
mulut Gudel, mencegahnya supaya lidahnya tidak tergigit. Nampaknya, semua sudah
terbiasa dengan peristiwa ini.
Ah, aku baru tahu,
Gudel epilepsi. Aku tahu, karena aku pernah melihat pasien Ibu yang epilepsi.
“Sepatu itu nggak penting. Yang penting kamu
masih bisa sekolah,” ujarku menyemangatinya.
“Aku malu. Murid paling
tua, tapi paling bodoh,” ujarnya.
“Kamu mau belajar
bersamaku?” tanyaku.
Binar di matanya
membuatku senang. Ada dua titik seperti bintang di sana.
“Tentu saja mau. Aku
mau lulus sekolah.”
“Baiklah. Nanti
sepulang sekolah ya,” kataku. “Oya, kamu mau sepatu lama ayahku? Beliau takkan
keberatan jika kuberikan padamu.”
Kepalanya yang besar
terangguk-angguk jenaka bak boneka keramik yang lehernya disangga pegas..
“Terima kasih,” dia
berkata berulang-ulang seperti kaset rusak.
Aku tertawa. Aku
berharap, sepatu yang kutawarkan padanya dapat menjadi sepatu persahabatan kami.
Dan, penyemangatnya belajar.
*Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Kisah Inspirasi Sepatu Dahlan dan diposting dalam rangka lomba tersebut.
No comments :
Post a Comment